Cerita Horor Gunung Ciremai, Gara-Gara Buang Pembalut Sembarangan!
DISCLAIMER
Cerita ini memiliki 13 bagian dan tamat
Siapkan waktu yang luang untuk membaca cerita ini karena ceritanya akan sangat menarik!
Sumber: Edge Mountain
========================
TEROR GUNUNG CIREMAI
KISAH NYATA
Ditulis oleh: Aras Anggoro
Bagian 1
Tidak ada yang salah selama kita naik, sampai puncak juga ngecamp. Masalah baru muncul menjelang kita turun, di Pengasinan Ayu haids. Setelah memasang pembalut, kita langsung turun. Pamit sebentar dengan pendaki Wonosobo yang kemarin sempat ngobrol dipuncak. Mereka menyarankan ngecamp semalam lagi karena sudah mulai sore. Tapi karena besok kita berdua kerja, ngecamp semalam lagi jelas ngga mungkin.
Masuk hutan lagi. Ayu jalan duluan, aku dibelakangnya biar bisa mengawasi. Kita berjalan pelan. Jalur Linggarjati agak bahaya untuk dibawa lari. Sebentar-sebentar Ayu minta istirahat. Mungkin pengaruh haids. Keanehan mulai terasa ketika kita melewati pos Sanggabuana, kita tidak bertemu satu pendaki pun yang naik. Padahal ramainya pendaki inilah yang membuat saya berani turun walau kesorean.
Jam 5 sore kita sampai di pos Batu lingga. Ada sedikit tanah lapang buat kita istirahat. Disini kita masak mie dan nyeduh kopi.
"Gimana di, udah sore banget. Ngecamp lagi apa gimana?" Kata Ayu. Mukanya cape dan khawatir.
"Lanjut aja Yu, sekalian cape." Kataku.
Setelah dirumah barulah aku tahu, kesalahan fatal dibuat disini dan di Sanggabuana. Ayu cerita, waktu di Sanggabuana, dia sebel banget harus bentar-bentar berhenti karena kasih jalan pendaki yang mau naik. Dia sempet ngomel, "Andai ngga ada yang naik lagi, enak nih turun, ngga keganggu"
Entah kebetulan atau tidak, memang betul kami tak pernah lagi berpapasan dengan pendaki lain.
Kesalahan kedua, dan yang paling fatal. Di Batu lingga Ayu membuang bekas pembalut nya ke kerimbunan semak. Mulai dari sini sampai bawah adalah terror.
Beres-beres peralatan. Packing ulang. Kita langsung jalan. Hari sudah gelap karena menjelang magrib. Ayu didepan, aku dibelakang. Bulu kuduk mulai berdiri. Rasanya diantara semak, dibalik pohon, disetiap tempat yang gelap ada yang mengawasi. Kepalaku mulai nyeri. Berdasarkan pengalamanku, kepala yang nyeri biasanya ada aktifitas mistis.
Di belokan hutan, aku kaget melihat Ayu berhenti dan badannya menghadapku. Suaranya gemetar, dia bilang, "Di, lu jalan duluan ya. Gw pegangan keril lu ya". Aku mengangguk. Jadi sekarang aku jalan duluan, sementara Ayu pegangan carrierku dibelakang. Jalanan sudah gelap total. Penerangan cuma dari cahaya headlamp.
Dari sudut mata aku melihat ada bayangan hitam yang berdiri di pohon, tapi waktu aku menoleh tidak ada siapapun. Lalu ada suara bisik-bisik yang jelas sekali, yang tadinya kupikir pendaki yang naik, nyatanya jalur didepan cuma kosong dan gelap tidak ada siapapun. Disini aku berdoa dalam hati mohon perlindungan.
Tiba-tiba Ayu menangis, dia jatuh terduduk, kepalanya disembunyikan di lututnya. Dalam sesenggukannya dia berulangkali menyebut pocong... Pocong .. Pocong. Mendengar itu bulu kudukku berdiri total. Kulihat segala arah dengan panik. Sosok itu tidak ada. Aku membujuk Ayu untuk berjalan lagi, sambil mengingatkan untuk berdoa.
Akhirnya Ayu mau berjalan lagi setelah matanya kututup dengan buff. Dengan cara ini, Ayu tidak lagi histeris, tapi jalan kami jadi luar biasa lambat. Sepanjang jalan aku masih terus melihat kelebatan-kelebatan hitam. Kadang semak-semak yang bergoyang sendiri. Suara-suara dalam bahasa sunda yang aku ngga ngerti artinya terdengar entah ditelinga entah suara pendaki yang terbawa angin.
Badanku gemetar ketika ada sebuah bayangan diujung jalur, dia jongkok dibawah pohon. Kali ini bayangan itu tidak hilang. Aku istighfar semakin kencang, Ayu memegang tanganku dengan erat. Semakin mendekat, kami akan terpaksa melewatinya karena sosok itu tepat di pinggir jalur. Nyaliku habis. Aku diam ditempat. Gemetar dan keringetan.
Kali ini Ayu sudah memelukku. Dia walau tidak melihat apa-apa tentu merasa ada yang ganjil. Lama aku berdiri berharap sosok itu hilang, sehingga kami bisa lewat. Tapi dia tetap disana. Tiba-tiba punggungku ada yang menepuk. Seorang pendaki yang sedang turun. Alhamdulillah kami selamat, aku lega.
Dia melambaikan tangan mengajakku jalan. Aku langsung bergerak. Sosok itu sudah hilang. Aku mengikuti pendaki ini hingga tiba-tiba dia hilang dikegelapan. Sebuah suara pelan terdengar, "Jalan lurus aja bang, jangan tengok kekiri".
Bagian 2
Aku dan Ayu masih terus merayap pelan. Teror nyata bercampur dengan halusinasi membuat mentalku semakin lemah. Sedetik yang lalu aku melihat tangan keluar dari tanah, ternyata hanya akar. Dalam keadaan ini akhirnya aku ambruk. Suara istighfar pelan masih terdengar dari mulut Ayu. Aku terbangun saat merasakan air segar di mulutku. Ternyata Ayu menuangkan air agar aku siuman.
Kami mulai berjalan lagi. Keadaan sekarang berbalik. Aku yang hampir tidak punya tenaga tersisa dipapah oleh Ayu. Kelebatan-kelebatan bayangan masih terlihat diantara pohon. Disuatu tempat aku bahkan melihat kaki yang berayun-ayun. Tak berani memastikan kaki siapa, aku memejamkan mata.
Setelah melewati turunan yang agak tajam, aku melihat dikiri jalur ada tenda. Aku lega bukan main, akhirnya kami selamat. Tiga orang tampak sedang mengelilingi api unggun. Satu orang melihat kami, dia melambaikan tangan. Aku dengan gembira setengah berteriak ke Ayu. "Yu, kita mampir dulu kesitu. Ngopi, istirahat, besok aja jalan lagi," sambil menunjuk ke arah tenda.
Tiba-tiba Ayu menamparku dengan keras sambil berteriak-teriak histeris, "di, sadar di! Istighfar!! Ngga ada apa-apa disitu!!"
Tiga orang itu sekarang semuanya melambai-lambai memanggil. "Itu ada orang Yu, ayo kesana. ngga enak, udah dipanggil-panggil. Ayo Yu..."
Ayu menamparku lebih keras sambil berteriak di kupingku menyuruh istighfar. Kali ini ketika aku menengok ke kiri ketiga orang itu sudah berjarak satu meter didekatku, sambil nyengir aneh, tiba-tiba kepala ketiganya lepas dan jatuh ketanah. Sambil cekikikan kepala tadi menggelinding ke arahku.
Aku histeris dan langsung lari. Beberapa lama baru aku sadar, aku meninggalkan Ayu dibelakang. Kakiku lemas, jantung berderap kencang. Mau balik menyusul Ayu, aku kelewat takut. Tapi tak lama kulihat Ayu berjalan turun. Begitu dekat, dia cuma menepukku mengajak jalan lagi. Aku berjalan mengikutinya dibelakang.
Tapi pelan-pelan aku memperlebar jarak dengan Ayu. Terus terang aku ngga yakin, Ayu yang jalan didekatku adalah Ayu temanku. Segala doa aku panjatkan. Ada rasa, menyesal kenapa aku tidak hapal ayat kursi.
Aku berjalan dengan mata menatap ke tanah. Karena di sekitarku penampakan ada di mana-mana. Bahkan sambil mata terpaku ke tanah, aku bisa melihat disebelahku ada kaki kaki yang kulewati. Ada yang kecil, besar. Ada yang hitam. Ada yang memakai kain putih.
Jantungku serasa mau copot ketika Ayu yang berjalan tiga meter didepanku tiba-tiba berlari dan langsung naik ke pohon sambil tertawa cekikikan. Aku langsung putar arah, lari keatas lagi. Tidak jauh aku lihat Ayu bersandar dipohon sambil menangis. Instingku mengatakan ini Ayu yang asli. Tapi begitu kusentuh dia berteriak-teriak histeris.
"PERGI!! PERGI!!"
Dia langsung jatuh lemas saat dia sadar aku yang menyentuhnya.
"Di, ini elu kan?"
Kami dengan badan gemetar dan doa-doa mulai berjalan lagi. Semua penampakan muncul. Ada yang bertengger dipohon, kepala yang menyembul di semak-semak. Bau-bau busuk dan wangi melati yang berganti-ganti. Aku dan Ayu berusaha tetap berjalan ditengah jalur. Kami sangat takut jika terlalu kiri atau kanan ada tangan yang akan menarik kami ke semak.
Belum lagi suara-suara. Ada suara yang terdengar marah tapi dalam bahasa Sunda, ada yang tertawa cekikikan, ada yang mengucapkan assalamu'alaikum berulang-ulang. Aku sempat berlindung dibalik pohon ketika melihat kuda lewat tanpa ada penunggangnya.
Kami akhirnya lepas dari hutan dengan susah payah. Tidak pernah terpikir untuk melihat jam berapa. Tapi gangguan masih belum mau melepas kami. Satu dua tangan atau kepala masih muncul dan hilang disudut mata kami. Lalu suara burung terdengar jelas. Kaok.. Kaok... Kaok...
Entah aku sudah kelewat terbiasa atau sudah pasrah. Aku seratus persen yakin ini pasti burung jadi-jadian. Lewat diatas kami burung hitam, terbang dengan pelan. Ternyata bukan burung jadi-jadian, ini burung biasa. Aku lega selega-leganya.
Aku mendengar Ayu istighfar pelan, lalu jatuh pingsan. Perasaanku kembali berantakan. Ada apa lagi ini? Sebelum aku juga pingsan, aku sempat melihat apa yang membuat Ayu tumbang. Dibelakang burung tadi, ada yang terbang mengikuti, sebuah kurung batang.....
Bagian 3
Aku terbangun di pos Cibunar. Bingung dan disorientasi. Sampai aku tersadar lagi, kejadian tadi malam bukan mimpi, badanku kembali gemetar. Beberapa orang diruangan itu menyadari aku sudah terbangun, langsung menghampiri. Yang satu memberikanku teh panas manis yang saat kuminum langsung membuatku merasa tenang lagi. Yang satunya duduk disebelahku sambil mengusap-usap punggungku.
"Diminum pelan-pelan aja teh nya Jang." Kata si Bapak itu.
Aku memperhatikan seluruh ruangan, masih belum yakin kalau aku sudah tertolong.
"Pak, teman saya?" aku menanyakan keberadaan Ayu. Tidak adanya Ayu disitu langsung membuatku terserang panik.
"ada di ruangan sebelah. Tidak apa-apa."
Aku lalu menceritakan semua kejadian yang kami alami sampai akhirnya kami pingsan. Bapak itu mendengarkan dengan tenang tidak nampak terkejut sama sekali. Asap rokok sesekali mengepul dari bibirnya. Semua yang kuingat kuceritakan, kecuali kejadian Ayu membuang pembalutnya di semak. Selain takut, ada rasa malu karena telah mengotori gunung.
"kunaon bisa sampe begitu?" kata si Bapak,"kejadian gaib memang sering disini, tapi saya teh baru denger yang sampe parah begini."
"saya juga ngga tahu pak." Jawab saya berbohong.
Bapak itu menatap lurus ke mataku seperti berusaha membaca, dia lalu bertanya,"punten nya jang, punten, bapak cuma nanya, kalian diatas zinah?". Aku gelagapan ditanya seperti itu. "Astagfirullah ngga pak. Saya sama Ayu cuma temen. Kita juga bawa tenda masing-masing." Bapak itu masih menatapku dengan pandangan tidak yakin.
Tapi memang itu kenyataannya. Aku dan Ayu sepakat untuk tidur ditenda masing-masing. Ayu membawa tenda satu orang yang sering kuejek sebagai tenda orang mati. Dan aku membawa tarp tent yang baru kubeli sebelum berangkat. Kami memang akrab, tapi keakraban kami sama sekali tidak mengarah kearah romantis.
"ya sudah, kamu istirahat dulu sebentar. Nanti ada yang datang bawa lauk dari bawah, kamu langsung makan ya. Diisi perutnya." kata si Bapak.
Aku mengangguk. "terima kasih pak."
Bapak itu langsung keluar, menemui beberapa orang yang sejak tadi diam-diam mendengarkan pembicaraan kami. Dari suaranya mungkin ada sekitar empat orang. Tapi aku sama sekali tidak paham apa yang dibicarakan karena dalam bahasa sunda. Tapi naik turun intonasi obrolan mereka yang pastinya membicarakan aku dan Ayu membuatku merasa tidak enak.
Jam ditanganku menunujukkan jam 11 siang. Buat orang yang habis-habisan diteror tadi malam, tak terbayangkan gembiranya melihat cahaya matahari. Aku melihat carrierku dan Ayu ada dipojok ruangan, juga sepatu milik Ayu. Kubuka carrierku mencari handphone dan charger saat kudengar erangan suara Ayu. Suaranya ada diruang sebelah. Bulu kudukku kembali berdiri. Apakah cobaan ini belum selesai?
Aku memberanikan diri melongok ke ruangan sebelah. Hatiku langsung mencelos melihat keadaan Ayu. Satu orang ibu-ibu tua sedang memijit kening Ayu sambil komat-kamit. Tiga orang lainnya memegangi tangan dan kakinya.
Ayu sendiri sedang berontak hebat berusaha melepaskan diri. Badannya dilentingkan keatas kebawah dengan brutal, kakinya berusaha menendang orang yang memeganginya. Matanya merah melotot hingga nyaris keluar. Ketika dia melihatku, ayu tertawa mendesis mirip ular lalu berteriak histeris. Aku shock melihat keadaan Ayu. Hingga Cuma bisa berdiri ditempat. Bapak tadi lalu menarikku, dan kembali menyuruhku meminum air teh tadi.
"Jangan kesitu jang, disini aja." Kata si Bapak.
"temen saya pak…" Kataku tanpa bisa meneruskan kalimat.
"Sebentar lagi ngga apa-apa. Udah disini aja."
Aku diam. Tanganku yang memegang gelas teh gemetar pelan. Tiba-tiba aku teringat dengan meeting bulanan. Pekerjaan yang memaksaku untuk terus turun walau ada keinginan untuk ngecamp semalam lagi. Terlambat sudah. Aku membayangkan muka murka atasanku atas ketidakhadiranku. Laporan-laporan yang harus kuserahkan, wajah kecewa rekan-rekanku. Aku mendesah.
"Pak, kira-kira sore temen saya udah normal belum yak? Bis arah Jakarta sampe malem kan ya Pak? Saya hari selasa harus sudah ngantor pak." Tanyaku pada si Bapak.
Si bapak menjawab ringan, tapi bagai petir di telingaku,"sekarang teh hari rabu jang."
Astagfirullah.aku pingsan tiga hari??
Tidak lama ibu tua tadi keluar. Dia berjalan lemah menghampiri kerumunan orang didepan. Disitu aku memperhatikan keriput tangannya. Ibu ini sudah tua sekali, mungkin usianya hampir tujuh puluh tahun. Disitu dia berbicara pelan, yang lain mendengarkan. Pada suatu kalimat beberapa orang tampak terkejut, lalu mengangguk-angguk tanda mengerti.
Bapak tadi lalu menghampiriku. "Jang, kita turun duluan ya. Kamu bapak bonceng. Temen kamu nanti nyusul turun. Soalnya motornya cuma satu."
Aku tidak bisa tidak selain setuju. Ketika akan mengangkat carrier, si bapak melarang. "udah disitu aja, biar nanti ada yang nurunin. Hayuk jang." Kata si Bapak, ada sedikit nada memaksa.
Benar diluar ada motor yang diparkir. Si bapak naik kemotor dan menyalakannya. Aku lalu naik dibelakang. Tapi ketika digas motor itu tiba-tiba mati. Aku turun lagi karena si bapak tampaknya akan menyela motor. Sekali sela dan hidup. Aku naik lagi. Tapi ketika digas motor itu mati lagi.
Dua orang lalu menghampiri kami. Yang seorang menggantikan si bapak dan menyalakan motor. Motor itu kembali menyala. Dia lalu berjalan lima meteran lalu berputar lagi. Tapi kembali mati ketika aku naik ke motor. Aku merasa tampaknya penghuni Ceremai tidak akan mau melepaskan kami dengan mudah.
Akhinya jam 4 sore si bapak itu memanggilku masuk. Didalam ada si ibu tua sudah menunggu. Ibu itu mengatakan sesuatu kepada si bapak yang mendengarkan dengan menunduk menatap lantai. Ibu ini pastinya tidak bisa berbahasa Indonesia.
"Jang, si emak udah berusaha tapi setan yang masuk ketubuh temen si ujang ada banyak. Dikeluarin satu, yang lain masuk. Begitu terus. Dan ada satu makhluk yang emak sendiri ngga bisa ngeluarin. Bentuknya ular hideung bertanduk."
Aku mendengarkan dengan khawatir, intonasi si bapak mengisyaratkan ada kabar yang lebih buruk.
"Makhluk itu dendam sama temen si Ujang, karena temen si Ujang udah lancang ngotorin rumahnya ceunah. Jadi temen si Ujang mau diambil, mau dikawinin."
Sekarang aku benar-benar panik. "pak tolong pak, bilangin saya minta maaf, tolong pak, bu tolong bu," aku meratap.
"iya Jang, tenang. Kata si emak, makhluk ini juga ngga jahat. Dia maklum dengan kalakuan manusia pendaki ayeuna, tapi kelakuan temen Ujang udah keterlaluan."
Ada sedikit perasaan lega mendengar ucapan si bapak barusan.
"dia akan ngelepas temen si Ujang, tapi ada syaratnya." Sambung si bapak.
"apa syaratnya pak?" tanyaku khawatir.
"Ujang malam ini harus naik, dan ambil lagi kotoran yang kemarin dibuang temen si Ujang."
Seluruh sendi ditubuhku langsung bergetar mendengar syarat barusan..
Bagian 4
Aku yang belum tentu setahun sekali melaksanakan sholat, magrib itu sholat dengan khusuk. Setelahnya aku berdoa hingga menitikkan air mata mohon perlindungan Allah. Sehabis berdoa, si Bapak yang mengimami ku sholat magrib berbalik kearahku.
"Jang, nanti habis sholat Isya langsung berangkat. Ngga usah takut, bismillah aja. Doa jangan putus nya?"
Aku cuma diam dan mengangguk.
"Setan apa aja ngga bisa nyelakain kalo Ujang inget Gusti Allah. Cuma Allah sebaik-baiknya pelindung." Sambung si Bapak lagi.
Setelah Isya. Aku mengisi carrierku dengan dua botol air mineral. Ku cek lagi headlamp juga senter. Semua siap. Ku tengok sekali lagi keadaan Ayu. Dia sedang tertidur, dan masih ditemani si ibu tua. Ibu itu tersenyum kepadaku seperti memberi restu. Diluar aku sudah ditunggu si Bapak. Aku mencium tangannya sekaligus minta dibantu doa.
Lalu si Bapak memberikanku sebuah bungkusan dari kain putih. Aku bertanya, "apa ini pak? "
"Bungkusan ini isinya tanah. Nanti tanah ini kamu sebar di gubuk belakang Condong Amis ya. Kainnya kamu bawa. Nanti kalo ketemu yang kamu cari, kain ini buat bungkusnya. "
Sekali lagi aku mengangguk. Lalu dengan menarik nafas dalam, aku berangkat. Seekor burung berkaok-kaok entah dimana mengikuti setiap langkahku. Satu-satunya penerangan hanya cahaya senter yang kurahkan ketanah. Aku sengaja memfokuskan pandangan ke langkah kakiku.
Semakin jauh kuberjalan, bayangan horror malam itu kian menjadi nyata. Tapi tiap kali bayangan itu muncul segera kutepis jauh-jauh walau sia-sia. Aku berhenti dibatas ladang. Didepanku sekarang membentang hutan pinus. Aura mistis menjalar dari semua tempat. Dengan mengucap bismillah, aku melangkah.
Tiba-tiba aku mencium bau busuk yang sangat pekat. Bulu kudukku langsung berdiri. Cahaya senter bergoyang akibat tanganku yang gemetar hebat. Aku tetap memaksa untuk maju walau pelan. Setiap kali aku ingin berbalik dan lari aku selalu diingatkan sosok Ayu yang sedang tertidur saat tadi kutinggal.
Bau busuk itu hilang, berganti bau melati. Sumber baunya begitu dekat, seakan-akan tepat dibelakangku. Bulu diseluruh tubuhku meremang membayangkan sosok apa dibelakang. Aku menunggu tangan sedingin es menyentuh tengkukku. Aku istighfar dan berjalan makin cepat.
Dalam situasi seperti ini tiba-tiba aku teringat legenda Nini Pelet yang konon berkeliaran diantara pohon-pohon pinus diwilayah ini diwaktu malam. Juga sosok Nyai Kembang, pengantin wanita yang mati saat tengah mengandung dan mayatnya dibangkitkan. Pikiran tentang Nyai Kembang dengan wajah pucatnya menyeringai dibelakangku cukup membuatku langsung berlari panik.
Entah berapa lama aku lari tanpa mempedulikan jalan yang mulai menanjak. Bayangan Nyai Kembang yang menyeringai sungguh menerorku. Hingga akhirnya aku tersungkur karena kakiku terkait akar pohon melintang. Sekitarku bukan lagi hutan pinus, melainkan pohon pohon tua raksasa. Di depanku jauh keatas nampak sebuah bangunan gubuk kayu.
Dari posisiku saat ini bayangan gelap bangunan itu yang diselimuti kabut tipis seakan memberikan peringatan untuk jangan coba-coba berani mendekat. Dengan ragu kusenteri bangunan kosong itu. Mungkin ini yang dimaksud gubuk condong amis yang dimaksud si Bapak.
Pelan dan ragu aku mendekati bangunan ditengah hutan ini. Sosok gelap bangunan ini saja sudah cukup mengintimidasiku. Pohon-pohon hitam disekitarnya dengan ranting kurus yang dalam pikiranku bagaikan tangan orang mati menjuntai disana sini.
Aku berhenti sepuluh meter didepannya, menyorot-nyoroti cahaya senterku kesetiap pojok ruangan. Lega setelah tidak ada sosok apapun yang bersembunyi dikegelapan. Tanganku merogoh kantung celana dan mengambil bungkusan putih berisi tanah. Warna putih kain itu langsung membuatku bergidik ngeri. Kubuka ikatannya, lalu kutuangkan tanah didalamnya ke tanganku.
Kutarik nafas langsung kuberlari kebelakang pondokan ini lalu secepatnya kusebar tanah tadi sesuai permintaan si Bapak. Aku sengaja melakukannya dengan cepat, karena ngeri membayangkan apa yang ada dibelakang pondokan itu. Tiba-tiba muncul sebuah wajah putih menyembul diantara semak, matanya membelalak lebar tepat didepanku. Aku langsung jatuh duduk sambil berteriak-teriak histeris.
Bagian 5
Ketika aku memberanikan diri membuka mata, sosok itu berdiri disana. Bertolak pinggang.
Aku masih dalam keadaan jatuh terduduk. Shock.
Sosok itu mengeluarkan suara yang anehnya terdengar normal.
"Apa-apaan wey! "
Aku langsung menguasai diri. Sosok ini ternyata manusia biasa. Pendaki! Aku masih bengong tak percaya melihat manusia normal berdiri dihadapanku. Sosok itu bicara lagi, kali ini tangannya menunjuk ke kolong gubuk.
"Apa-apaan. Mie gua jadi ga bisa dimakan wey! "
Aku terpana. Mataku bolak balik melihat sosok itu dan mie yang baru direbus diatas kompor portable kotak. Benar mie itu sudah bercampur tanah merah yang tadi kulempar.
Ketika makin tenang, baru aku menyadari sosok itu memang manusia biasa yang memakai kemeja lapangan warna hitam, celana pdl dan sepatu running. Kulihat sekali lagi, sepatu runningnya menapak ke tanah. Dia benar manusia.
Dia menggamit tanganku dan menolongku berdiri. Aku ditatap dari atas ke bawah ke atas lagi.
"Apa-apaan barusan? " Katanya lagi.
"Eh, anu, maaf bang. Saya beneran ngga tau ada orang disini. " Aku meminta maaf.
"Naik berapa orang? " Tanyanya lagi.
"Sendiri." Jawabku.
Sekarang aku bisa melihat dengan jelas orang ini. Tingginya sama denganku. Usianya mungkin menjelang 50 tahun tapi sosoknya nampak lebih muda. Cahaya memantul dari kacamata bulatnya. matanya penuh selidik memandangku.
"Ngga dianjurkan jalan malam sendiri di Ciremai. " Katanya, "emang dapet ijin naik tadi dibawah. "
"Iya bang. Dapet. " Jawabku, sengaja tidak terus terang alasanku naik.
"Ya udah, istirahat dulu aja. Mau mie? Gw masak dulu. Yang tadi harus dibuang gara-gara lu. "
Barulah aku sekarang melihat dengan jelas. Dibelakang gubuk ini dia menggelar matras. Carrier besar berdiri menyandar di tiang kayu.
"Siapa nama lu? Dari mana? " Katanya sambil menyalakan api dikompor.
"Saya Adi bang. Dari Jakarta. Kalo abang? " Jawabku. Sambil tetap membelakangiku, sibuk dengan kompornya dia menjawab "Gw Moka. "
Aku sama sekali tak peduli dia darimana. Aku sangat bersyukur bukan hanya aku sendiri di gunung ini. Rasa aman dan tenang menguasai dadaku. Setelah mie matang. Dia mengeluarkan mangkok plastik dari carriernya. Menuang sebagian mie itu untuk kumakan.
Sedang dia sendiri memakan mie tadi langsung dari misting. Sambil makan dia terus-terusan memperhatikanku. Setelahnya dia mengeluarkan rokok kretek dari kantong bajunya, lalu menghisapnya dalam.
"Jadi lu orangnya ya.. " Katanya, seakan berbicara pada diri sendiri.
"Gimana bang maksudnya? " Tanyaku, tak yakin arah pertanyaannya.
Dia memandangku dengan tatapan kesal. "Kalian tuh semua pendaki sama aja. Bisanya cuma ngotorin gunung. Ngga punya rasa hormat. " Aku terperangah "abang udah tau ya.. "
"Mak Ncep nitipin lu ke gua. Dia yang cerita semua. Mulai dari sini sampe atas lu bareng gw. " Katanya lagi
"Mak Ncep? Mak Ncep siapa bang? " Tanyaku bingung.
"Bocah emang ngga ada hormat-hormatnya sama orang tua. Mak Ncep yang dari kemarin nolongin lu sama temen lu. Kalo ngga ada Mak Ncep, temen cewe lu pasti udah lewat dibawa ke alam lain. " Jawabnya ketus.
Rupanya ibu tua yang terus-terusan menjaga Ayu di Cibunar itu namanya Mak Ncep. Aku memang sama sekali tidak bertanya nama Ibu tua itu, juga bapak yang menjagaku. Ada rasa menyesal menyadari betapa kurangnya sopan santunku pada orang yang sudah beberapa hari ini menolongku dan Ayu.
"Mak Ncep juga yang ngejagain lu ngelewatin hutan pinus. Makanya lu bisa aman sampe sini. Kalo ngga lu bisa dimakan setan penganten tadi. "
"Tapi saya jalan sendiri tadi bang. Mak Ncep? Setan penganten? " Aku bertanya bingung.
Tapi dia tidak menjawab. Dia cuma tersenyum sinis sambil membereskan carriernya. Aku bergidik mengingat rasa dingin yang menjalari tengkukku tadi. Mungkin setan penganten itu tadi benar-benar ada dibelakangku. Selesai packing carrier, dia berjongkok dan berkata serius.
"Mulai dari sini perjalanan kita ngga akan gampang. Lu cukup ngikutin gw. Baca doa-doa yang lu tau. Pikiran jangan kosong. "
"I.. Iya bang." Jawabku.
"Kita bakal disambut semua penghuni Ciremai. Dari yang bentuknya abstrak sampe solid. Dari yang nyaru jadi manusia sampe yang mukanya berantakan. Siapin mental lu. Kalo lu ngga selamat disini, temen lu dibawah juga ngga bakal selamat. "
"Iya bang. " Jawabku lagi.
"Lu inget dua ini : kalo tiba-tiba muncul suara gending gamelan. Apapun yang terjadi kita harus diam. Jangan bergerak. Paham lu? "
"I.. Iya bang. Yang keduanya apa bang? "
"Lu bakal ngeliat banyak penampakan nanti. Tapi ada satu penampakan yang paling berbahaya. Penampakan Kalong wewe! "
"I.. Itu yang gimana bang? Terus saya harus gimana kalo ada gituan? " Pikiranku langsung kalut.
"Kalong wewe itu bentuknya perempuan telanjang. Rambutnya awut-awutan. Lehernya miring kayak patah, lidahnya ngejulur keluar. Tetenya panjang ngegantung sampe ke paha."
Aku menelan ludah membayangkan sosok itu.
"Kalo dia muncul. Lu harus pura-pura ngga liat. Apapun yang dia lakukan walau mukanya nempel dimuka lu, lu harus pura-pura ngga liat. Kalo ngga... "
"Kalo ngga gimana bang... "
"Kalo dia sampe tau lu bisa liat dia. Lu bakal ditarik keatas pohon, artinya lu ditarik ke alamnya. Dan lu ga bakal bisa balik lagi."
"I.. I... Iya bang. " Badanku mulai gemetar.
"Yah doa aja makhluk itu ngga muncul. Susah nolong orang yang udah diculik Kalong wewe. Lu harus waspada kalo lu nyium bau khasnya. kalo bau itu muncul, kemunculannya dijamin pasti. "
"Bau apa bang? " Tanya ku.
"Bau pandan."
Bagian 6
Aku melirik ngeri ke tanjakan yang akan kami lalui. Kabut tebal mengambang diujung tanjakan itu seakan gerbang masuk menuju dunia antah berantah. Orang ini memanggul carriernya dan langsung berjalan. Sambil mengucap Bismillah aku juga berjalan dibelakangnya.
Masuk kedalam kabut. Aura mistis langsung membekapku. Suasana kelewat hening. Tidak ada satu pun suara binatang malam. Yang terdengar hanya suara langkah kaki dan nafasku yang semakin berat. Tapi kehadiran orang ini sungguh membuat banyak perbedaan dibanding awal jalan tadi di Cibunar.
Sekarang aku mulai berani melihat sekeliling. Kegelapan bagai selimut dihutan ini. Pekat dan mencekik. Pohon pohon tinggi dan kurus mencuat di mana-mana. Satu dua bayangan pohon besar raksasa muncul diantara tirai kabut. Dan semak semakin meninggi.
Tiba-tiba orang itu berhenti mendadak. Dia lalu bicara tanpa menoleh ke arahku, "pikiran jangan kosong. Mulai baca-baca." Dari jauh kulihat sesuatu bergerak mendekat dengan cepat. Kabut putih bergulung-gulung menabrak kami. Selama sedetik aku bahkan tak bisa melihat tanganku sendiri. Kabut itu hilang dalam sekejap,diikuti rasa dingin seakan memelukku. Tubuhku mulai menggigil.
Orang itu masih berdiri diam ditempatnya. Aku langsung melihat apa yang membuatnya tak bergerak. Seekor kelabang sebesar paha orang dewasa. Makhluk itu merayap pelan, melintang menghalangi jalur. Buku-buku badannya hitam mengkilat. Sulur dikepalanya bergerak-gerak liar. Aku diam mematung berharap makhluk itu segera hilang. Alih-alih menjauh, kelabang itu malah merayap mendekat.
Sulur dikepalanya baru menyentuh betisku ketika tiba-tiba orang itu mengeluarkan parang dan membelah kelabang itu menjadi dua. Sebelah badannya menggelepar liar di tanah, sementara yang sebelah justru merayap ke pahaku. Aku berteriak sejadinya sambil mengibaskan kaki. Dengan tak acuh orang itu menarik sisa tubuh kelabang dari tubuhku, dibanting nya ke tanah lalu dibuang ke tengah semak.
Dengan muka sebal dia melirikku dari balik kacamata bundarnya,
"malem masih panjang boy, " Katanya sambil berjalan meninggalkanku.
Nafasku hampir habis mengikuti irama jalannya. Walau menggendong carrier segunung tapi langkahnya tampak ringan. Ada sebuah pin menempel di carrier nya, tapi aku tak berhasil membaca tulisannya. Dia mencolek bahuku dan menunjuk keatas. Mataku mengikuti arah yang ditunjuk dan seketika tubuhku bagai tersengat listrik. Di dahan pohon yang paling tinggi nampak sosok perempuan. Kakinya menjuntai ke bawah.
"Kuntilanak." Katanya sambil nyengir.
Kakiku kembali gemetar. Rasanya tak ada tenaga sedikitpun untuk bergerak sekuat apapun kuberusaha. Bukan cuma ada satu, tapi dua. Seketika aku menyadari, sosok itu ada disetiap cabang pohon. Jumlahnya puluhan. Menggantung disana sini. Hanya diam, tak bergerak, tak bersuara.
"Bang.. Tolong. " Bahkan suara yang keluar dari mulutku pun bergetar.
Dia malah tertawa melihatku bersimbah keringat. Dia menggamit lenganku dan mengajakku jalan.
"Cuma begitu aja mereka itu, ngga bisa lebih. Kuntilanak ngga akan nyekek lu apalagi gigit. Bisanya cuma nongol, berharap manusia yang diganggu mentalnya lemah kayak lu. "
Terus terang aku takjub dengan abang ini. Bicara miring tentang hantu tanpa rasa takut sama sekali. Jalan semakin keatas, penampakan muncul di mana-mana. Beberapa bahkan tepat di pinggir jalur. Bukan hanya Kuntilanak, tapi juga banyak wujud lain.
Beberapa wujud muncul dalam keadaan tidak utuh. Ada yang tanpa kepala, ada yang tidak punya rahang, ada yang kepalanya terbelah. Beberapa yang lain muncul dengan organ tubuh yang tidak pada tempatnya.
"Semakin aneh bentuknya, menandakan rendahnya level mereka di dunianya. Yang bisa mereka lakukan cuma muncul dan hilang, muncul dan hilang, begitu terus. Kalo lu takut dengan godaan makhluk level rendah ini, itu menandakan rendahnya level iman lu boy. " Ucap orang itu tenang.
"Sebaliknya, semakin sempurna bentuknya. Menandakan semakin tinggi levelnya. Makhluk-mahkluk model begini yang wajib diwaspadai. Bukan cuma bentuknya, tapi juga pakaian, tingkah laku dan tutur katanya. Setan-setan yang paling baik adalah setan-setan yang paling berbahaya boy. " Sambung orang itu, "kadang makin sulit membedakan manusia dengan setan. "
Dari belakang kulihat dia menyalakan rokok. Asapnya terlihat mengebul tipis. Bahkan dia bisa berjalan sambil merokok, pikirku. Stamina orang ini luar biasa. Kuntilanak yang berdiri terlalu dekat dijalur disembur dengan asap rokoknya, dan menghilang.
"Dari dulu di gunung ini sudah tidak terhitung banyaknya pendaki yang hilang. Tiap generasi ngga pernah kekurangan orang-orang ngga punya etika kayak lu dan temen lu." Orang itu ngomel sendiri, "nyampah, zinah, berisik, ngomong sembarangan, nantang-nantang. "
Di sebuah persimpangan kami berhenti. Jalan disebelah kanan tampak sudah lama tidak lewati. Bebatuannya berlumut, tanda jarang diinjak orang. Jalan yang sebelah kiri terbuka lebar, jalurnya tampak jelas sering dilalui.
"Kalo lu terpaksa sendiri, jalan mana yang lu pilih? " Tanya orang itu padaku.
"Kiri." Jawabku dengan cepat.
"Lu mati " Kata orang itu, "Jalan sebelah kiri ini ngga pernah ada. Dibalik semak-semak ini cuma jurang. Kuburan buat banyak pendaki. "
Aku terkesiap ketika menyadari kami tidak berhenti dipersimpangan. Jalur sebelah kiri yang tadi kulihat, sekarang berubah menjadi semak belukar. Kami meneruskan jalan. Semakin keatas, penampakan semakin menjadi. Mereka juga semakin berani. Sebuah bayangan hitam menabrak ku dan lewat begitu saja, dan meninggalkan bau amis darah.
Bayangan lain meloncat-loncat dari pohon ke pohon. Nafas-nafas berat, kadang menggeram sering kali terdengar. Suara cekikikan, tangisan, suara-suara bayi dan ringkik kuda. Bau-bauan muncul dan hilang silih berganti. Bau busuk bangkai tercium dari bawah pohon tumbang, digantikan harum melati. Sesekali bau anyir darah menyergap.
Orang itu tiba-tiba berhenti mendadak dan memberikanku aba-aba untuk diam. Semua bau-bauan itu hilang mendadak, digantikan bau yang asing. Aku mencoba mengingat-ingat pernah mencium bau ini entah dimana. Bulu kudukku langsung meremang saat kesadaran menyergapku.
Ini bau pandan...
kalong wewe...
Bagian 7
Jantungku bergemuruh kencang ketika bau pandan tersebut kian mendekat. Kakiku bagai tertancap ditanah. Mataku bergerak liar mencari sosok yang bahkan abang ini pun merasa lebih baik menghindar. Dan jantungku serasa dicabut. Sosok itu tepat berada diatasku. Wajahnya tertutup rambutnya yang acak-acakan. Tangannya yang penuh koreng dan bernanah menjuntai.
Semakin kuat usahaku untuk diam, tubuhku semakin gemetar tak terkendali. Aku lalu menutup mata dan berusaha membayangkan apapun sekedar untuk menghilangkan bayangan Kalong wewe itu dari benakku. Aku membayangkan suasana kantor, keriuhan saat makan siang atau macetnya lalulintas di jam pulang kantor.
Sekejap aku berhasil menenangkan riuh jantungku, gemetar diseluruh tubuhku mulai berkurang, ketika tiba-tiba suara berdebum jatuh tepat dibelakangku. Usahaku barusan langsung sia-sia, tubuhku gemetar hebat, bahkan lebih dibanding sebelumnya. aku seratus persen yakin, Kalong Wewe itu tepat berada dibelakangku. Punggungku serasa panas. Beban carrier yang kubawa kurasakan kian bertambah berat.
Sebuah tangan muncul dari belakang. Berkoreng dan berbau busuk. Kukunya yang panjang dan hitam mulai menyentuh pipiku. Dititik ini aku bahkan sudah tak sanggup lagi menutup mata. Aku hanya bisa menatap ngeri ketika jari-jari kurus itu bergerak perlahan membelai pipiku.. Dan hilang.
Jari-jari itu hilang begitu saja. Tapi aku masih tidak berani bergerak. Firasatku mengatakan makhluk menjijikkan itu masih ada disekitar, aku hanya tak tahu dia ada dimana ketika tiba-tiba aku melihat hal yang paling mengerikan sepanjang hidupku.
Sebuah tangan mencengkeram pinggang ku dari bawah. Tangan yang satunya bergerak perlahan menggores perut, naik ke dada hingga akhirnya mencengkeram bahuku. Dan perlahan sebuah wajah yang mengerikan muncul diantara dua tangan itu. Matanya menatap kosong ke mataku. Hanya mata kosong itu yang tersisa diwajahnya. Seluruh wajahnya hancur dan bernanah.
Dahinya penuh borok-borok besar yang siap meletuskan darah dan nanah kapan saja. Wajah itu terus naik, matanya tetap terpaku ke mataku. Pelan dan pasti dia merayap di perutku, naik ke dadaku, leher dan langsung tepat berada di wajahku. Mata bulat besar itu terus saja lekat menatapku, semakin dekat.
Mataku menatap ngeri ketika mulutnya terbuka menampakkan belatung-belatung yang menggeliat didalamnya. Mulut itu kian membuka lebar dan semakin lebar, seluruh wajah itu sekarang adalah mulut yang menganga, tangannya mencekik leherku, mulut itu semakin mendekat dan mendekat!!
Yang pertama kulihat ketika siuman adalah wajah orang itu. Tubuhku lemas, tidak sanggup untuk digerakkan. Seluruh tulang serasa lepas dan kepalaku terasa nyeri. Ada rasa sakit disekitar leherku. Ketika aku menyentuhnya, tampak noda darah dijariku. Tubuhku langsung mengejang, kakiku tersentak saat ingatanku kembali pulih menghadirkan kembali saat kuku-kuku hitam Kalong wewe itu menusuk leherku.
"Udah tenang! Jangan panik! Setan sialan itu udah ngga ada." Kata orang itu sambil membantuku minum teh hangat. Mendengar itu aku kembali tenang. Tapi rasa sakit disekitar leherku masih terasa panas. Bekas hitam di leherku kelak tidak akan hilang selama berminggu-minggu.
"Terima kasih bang." Suaraku terdengar lirih. Tapi aku sungguh-sungguh berterima kasih. Tanpa kehadirannya entah bagaimana nasibku dan Ayu.
"Bukan gue." Jawabnya pelan, sambil membereskan kompor bekas memasak air panas. Suaranya terdengar lemah. Aku masih memandanginya, menunggu jawaban. Merasa diperhatikan, dia menghentikan aktivitasnya dan menatap serius padaku.
"Berterimakasih sama Nyi Linggi." Dia berucap. Aku masih menatapnya. Bingung bagaimana bereaksi. "Nyi Linggi siapa bang?' tanyaku. Dia tampak kesal dengan pertanyaanku. "Emang kalian bocah ngga tau adat. Nyi Linggi itu orang yang rumahnya di Batu Lingga kalian kotorin!"
Aku masih tetap bingung dengan jawaban-jawabannya. "Ta.. tapi orang kan bang?" tanyaku lagi. Dia mendekat dan berbisik pelan ditelingaku, "penguasa Ciremai."
Kami kembali berjalan. Semakin keatas hutan semakin rapat. Pohon-pohon besar berdiri angker disegala penjuru. Sosok-sosok Kuntilanak masih muncul disana sini, walau tidak sebanyak tadi. Sebagai gantinya banyak penampakan-penampakan baru berupa sosok-sosok menyerupai manusia biasa. Tidak ada aura mengancam dari sosok-sosok itu, yang terasa justru aura penderitaan.
Sosok itu menyebar di banyak tempat, tiduran di jalur, dibawah pohon, ada yang menangis sesenggukan diantara semak-semak. Semua sosok itu adalah laki-laki. Wajahnya tampak seperti wajah orang desa biasa. Disuatu tempat, aku bahkan harus berjalan zigzag agar tidak menginjak orang-orang ini.
Aku mengenali tempat ini. Sebentar lagi diatas adalah tempat aku dan Ayu mendirikan tenda pada malam pertama saat mendaki. Dan benar saja, tidak lama kami mendapati lahan agak terbuka. Disana kulihat ada satu tenda yang berdiri. Ada sebuah penanda berwarna kuning di pohon yang bertuliskan: Kuburan Kuda.
Wajahku sumringah melihat kehadiran orang lain di gunung ini. Dua orang pendaki yang sedang sibuk memasak. Satu orang lainnya tampak duduk dimulut tenda, kakinya menjorok keluar, memperhatikan rekannya yang sedang sibuk.
Tapi aku juga melihat penampakan sosok lain. Disekitar mereka hantu-hantu berwujud orang desa ada di mana-mana. Sebagian besar berkerumun disekitar pendaki yang sedang memasak. Wajah-wajah sendu itu memperhatikan seorang pendaki yang sedang mencicipi kuah mie. Mereka tampak kelaparan.
Aku sudah bersiap akan menyapa pendaki-pendaki ini ketika orang itu mencolek ku dan menggeleng-gelengkan kepala. "Sekarang ini mereka ngga bisa melihat kita." Katanya. Aku terperangah mendengarnya. Apakah aku sudah jadi hantu?
"Kita dan mereka ada di tempat yang sama, tapi berbeda dimensi." Sambung orang itu lagi. "Percuma nyapa, mereka ngga akan dengar."
Aku lalu menunjuk sosok-sosok hantu kurus berwujud orang desa itu, meminta penjelasan.
"Mereka tadinya orang kampung biasa dikaki gunung. Mereka dibawa kesini untuk kerja romusha di jaman Jepang. Disiksa, kelaparan dan akhirnya dieksekusi. Mayatnya dibuang didaerah ini."
Aku iba mendengar masa lalu pahit yang harus hantu-hantu ini alami.
Orang itu menggamit lenganku, mengajakku kembali meneruskan perjalanan. Aku mengangguk, lalu mulai melangkah. Ada rasa sedih harus berpisah dengan pendaki-pendaki ini. Bagiku mereka adalah simbol kehidupan biasa. Tenang dan tanpa konflik. Sementara aku harus pergi menuju kerajaan gaib gunung Ciremai.
Keceriaan mereka adalah keceriaanku dan Ayu beberapa malam yang lalu. Semoga mereka tidak mengikuti kesalahan kami. Perhatianku teralih oleh suara gemerisik disemak-semak di kanan dan kiriku. Sesekali terlihat kelebatan sesuatu yang berjalan mengiringi langkah kami. Kadang terdengar nafas berat. Aku mencolek orang itu, "bang... Bang... "
Dia malah menepis tanganku, dan mengisyaratkan agar terus berjalan. Tapi aku tak bisa menepis rasa takut dan keingintahuan. Hingga terus-terusan mencolek tangannya. Dia yang akhirnya merasa terganggu akhirnya berhenti. "Bawel banget lu sumpah." Makinya. "Sini gw jelasin biar diem." Dia menyelipkan rokok dibibirnya, membakar dan menghisapnya dalam.
"Ngga pernah ada yang bisa jelasin bentuk Kalong wewe. Tadi gw bilang, kebanyakan orang yang diculik Kalong wewe jarang balik, betul?" Tanyanya sambil menghembuskan asap rokok. Aku mengangguk.
"Sebagian ada yang bisa ditolong walau susah. Tapi mereka ngga kembali utuh. Siapapun yang sudah ditetein Kalong wewe udah ngga akan bisa ngomong lagi." Dia melanjutkan, "Kalong wewe ngga akan membiarkan orang lolos dan nyeritain bentuknya yang menjijikkan ke orang lain.'' Sampai sini aku mulai gemetar lagi membayangkan bentuk Kalong wewe yang sungguh menjijikkan tadi.
"Kalong wewe itu masih ngikutin kita sampe sekarang." Jelasnya lagi, "Dia ngga akan ngelepas lu boy, tapi dia ngga bisa mendekat karena sejak kejadian tadi, kita dijaga di kanan kiri sama makhluk lain."
"Apaan bang?"tanyaku. Dia menghembuskan asap rokoknya ke wajahku. Suaranya terdengar sedikit gemetar dan sedih. Dia berkata pelan, "Harimau."
'Ternyata ada juga makhluk gaib yang baik sama manusia ya bang." Kataku.
Dia tersenyum kecut. "Baik bukan pilihan kata yang tepat boy.'' dia kembali menghisap rokoknya,
" Terus bang?" Aku bertanya menyelidik.
"Buat ganti penjagaannya, ada sesuatu yang nanti harus dikorbanin."
Bagian 8
Bajuku basah oleh keringat. Kakiku mulai nyeri. Semakin keatas jalur yang harus kami lalui semakin curam. Tanjakan-tanjakan ini seakan tidak berakhir. Orang itu seringkali harus berhenti untuk menungguku yang mulai megap-megap kehabisan nafas. Jika sudah begitu dia biasanya hanya merokok dan melihatku dengan sebal.
Aku sudah hampir tak peduli dengan harimau dikanan kiriku, atau kalong wewe yang pastinya sedang mengawasiku entah dimana. Selama mereka tidak menampakkan diri sudah cukup bagiku. Sosok hantu orang desa tidak ada lagi diatas sini. Setelah melewati Kuburan kuda, penampakan mereka semakin berkurang hingga hilang sama sekali.
Musuhku yang utama saat ini cuma tanjakan-tanjakan yang semakin curam. Di beberapa tempat aku bahkan harus menggunakan akar untuk membantuku naik. Sesekali muncul pocong, yang tiap kali selalu membuatku melompat kaget. Kalau sudah begitu biasanya orang itu tertawa terbahak-bahak kegirangan. Rupanya kepanikanku sudah menjadi hiburan buat dia.
"Bener kata abang tadi, setan-setan begitu bisanya cuma muncul hilang, muncul hilang doang. Ngga bisa ngapa-ngapain." Kataku dengan nafas tersengal-sengal. Dia nyengir. "Yang gua maksud tadi kan Kuntilanak boy hehe." Jawabnya sumringah. "kan gua tadi ngga nyebut pocong."
"Lah kalo pocong gimana bang?"
"Di Afrika ada yang yang namanya cobra penyembur. Dia ngga matok kayak uler lain, tapi dia nyemburin bisa beracun ke muka korbannya." Dia menyambung, "pocong itu cobra penyemburnya dunia setan. Saran gua, kalo liat pocong cuma satu: lari. Lu ga bakal mau kan diludahin pocong."
"Kalo diludahin gimana bang?" Tanyaku. "Ya buta hahaha." Dia menjawab diiringi gelak tawa senang. Entah dia bercanda atau tidak, tapi yang jelas aku berharap jangan pernah lagi bertemu pocong.
"Bang, emang bener mitosnya, kalo bisa ngambil tali iketan pocong kita bisa kaya?" Tanyaku iseng.
"Ngapain susah-susah ngambil tali pocong. Ribet amat. Kalo sekedar cuma minta kaya, minta kebal, minta pelet, lu doa aja minta gituan ke pocong." Jawabnya ringan.
"Emang bisa bang?" Tanyaku polos.
"Ya bisa. Apa sih yang setan ngga bisa boy. Tapi lu gila kalo sampe begitu. Emang yang nyiptain lu pocong? Hahaha, manusia makin kesini makin aneh.'' dia menambahkan, "jadi ngga heran gua, kalian sampe ketimpa masalah kayak begini. Hidup lu kebangetan jauh dari agama boy."
Aku termenung mendengar jawabannya yang terkesan ngawur. Tapi ada kebenaran di situ. Memang betul, hidupku sudah melenceng jauh dari yang seharusnya. Aku bertekad dalam hati, jika bisa lolos dari sini, aku ngga akan meninggalkan sholat.
Lalu aku mendengar bunyi berdebum ringan. Suara benda jatuh. Dengan panik aku mencari-cari sumber suaranya. Orang itu pun mendengar suara itu. Dengan mengikuti arah tatapannya barulah aku melihat sumber suara berdebum itu. Dari tanjakan didepan kita, seonggok kepala tanpa tubuh tergeletak.
Aku bagai tersengat listrik ketika kepala itu berputar pelan dan menampakkan wajahnya. Mulutnya sobek sampai ke telinga, lidah panjangnya menjulur keluar dan bergerak-gerak mengerikan. Air liurnya menetes. Matanya yang tertutup, pelan-pelan terbuka. Dibalik kelopak mata itu tidak ada apa-apa, hanya lubang hitam. Kosong tapi terlihat mengancam.
Pelan, kepala itu terangat ke udara, menampakkan sisa tubuhnya. Ditempat yang seharusnya leher sekarang nampak hanya tulang. Jaringan urat dan otot yang tampak basah membelit tulang itu. Tampak menggantung jeroan perutnya. Busuk tapi juga berdenyut-denyut.
Makhluk itu melayang dua meter dari tanah. Ditingkahi suara tawa serak dari mulutnya dia meluncur kearahku dengan cepat. Tak mampu bergerak, aku hanya membelalak ngeri. Tapi dengan cepat orang itu menangkap tulang yang menggantung dibawah kepalanya, dibanting ke tanah dan diinjak hingga hancur.
Aku bergidik melihat kejadian barusan. Seperti tidak terjadi apa-apa orang itu kembali berjalan meninggalkanku dibelakang. Kakiku sedemikian gemetar nya hingga membutuhkan waktu beberapa menit untuk mampu berjalan lagi. Dengan ngeri aku berjingkat minggir menghindari sisa-sisa makhluk itu. Walau hancur tapi dia masih bergerak-gerak lemah.
Tapi tiba-tiba kakiku tak dapat bergerak, tanpa sadar aku minggir terlalu dekat ke semak-semak dan kakiku terjerembab akar yang mencuat dari tanah. Dengan panik aku mengibas-ibaskan akar yang menjepit kakiku tanpa melihatnya. Tapi bukan akar yang kupegang melainkan sesuatu yang kenyal dan lengket.
Aku histeris ketika menyadari yang menahan kakiku adalah seonggok tangan putih pucat. Beberapa pasang tangan putih pucat lain muncul dan menarikku ke semak-semak. Aku berusaha berteriak minta tolong, tapi tenggorokanku tercekat, aku tak mampu mengeluarkan suara sedikitpun. Dengan kasar tubuhku ditarik makin dalam ke semak.
Kurasakan sesuatu yang basah menempel di telingaku, selang seling diantara tawanya dia berbisik: mati.. Mati... Mati. Lalu kegelapan total. Saat kesadaranku kembali, kulihat orang itu didepanku. Pipiku berdenyut sakit. Dia baru saja menamparku dengan keras. Aku terkejut karena aku belum bergerak sedikitpun dari tempat tadi aku berdiri.
"Gua bilang pikiran jangan kosong! Ditempat begini lu ngga boleh melamun, paham ga lu!" Dia membentakku dengan keras.
Aku mengangguk sambil mengusap-usap pipiku yang panas. Jantungku masih bergemuruh kencang seakan tangan tangan mayat tadi masih menempel di tubuhku. Orang itu menarikku dengan kasar, beberapa langkah kami keluar dari jalur. Menganga didepan kami adalah jurang. Kami berdiri tepat dibibirnya.
Angin dingin menabrak wajahku. Dalam kegelapan malam, jurang ini terlihat lebih mengerikan. Lalu kudengar suara tangisan, juga teriakan-teriakan minta tolong dari dasar jurang ini. Hembusan angin mengacaukan sumber suaranya, kadang terdengar jauh, kadang terdengar dekat.
"Itu teriakan minta tolong dari pendaki-pendaki yang hilang dan ngga pernah ditemuin lagi." Katanya.
"Mereka salah apa bang?" Tanyaku.
"Di gunung ini lu ngga perlu salah apa-apa, cukup bengong aja lu bisa hilang. Jangan salah boy, setan ngga cuma bisa nyulik badan lu, mereka juga bisa nyulik jiwa lu. Makanya kalo gua ngomong dengerin!" Bentaknya lagi. Dia lalu jalan berbalik sambil kembali menarikku.
"Bang, itu tolongin dulu mereka bang." Pintaku Tapi dia tetap berjalan kembali ke jalur. "Bukan urusan gua." Jawabnya ketus. Sambil berjalan terseret karena tarikannya, aku terus menerus menoleh ke belakang. Aku iba dengan pendaki-pendaki yang hilang itu. Dalam keadaanku sekarang, aku benar-benar memahami apa yang sedang mereka rasakan.
"Mata lu liat kemana!" Bentaknya lagi padaku.
Ketika menoleh, aku kaget karena wajahku hampir saja menabrak sepasang kaki yang menggantung. Terkejut dan kehilangan keseimbangan, aku jatuh terduduk. Kaki itu masih disitu, terjuntai lemah. Mataku membelalak menatap ngeri. Pemilik kaki itu adalah anak kecil seumuran adikku. Lehernya patah terikat tali yang menggantung di sebuah cabang pohon.
Aku semakin terkesiap saat menyadari didepanku membentang sebuah tanjakan terjal, pohon-pohon besar bercabang dengan ranting-rantingnya yang lebat hingga bulan tidak terlihat sedikitpun. Di setiap dahan pohon-pohon itu terbujur kaku mayat yang digantung. Satu disetiap dahan. Kurasakan dingin memelukku dengan cepat. Aku masih terpaku menatap puluhan pasang kaki yang tergantung itu bergoyang-goyang tertiup angin.
"Jalan boy. Hormatin orang yang udah mati." Kata orang itu.
Aku beringsut ditanah sebelum akhirnya lari mengejar orang itu. Sekilas kulihat tulisan penanda di sebuah pohon: Bapa Tere. Sengaja aku tidak bertanya apapun tentang mayat-mayat yang tergantung itu. Penampakan mayat anak kecil seusia adikku lebih membuatku sedih daripada takut. Dan aku sama sekali tidak ingin mendengar kisah sedih tentang masa hidup mayat-mayat itu dulu.
Tanjakan ini lebih curam dari yang sebelumnya. Dengan susah payah aku mendaki dari undakan ke undakan. Yang mengherankan, orang itu belum terlihat lelah sama sekali. Dengan rokok di mulutnya dia berjalan dengan santai, kadang melompat di tanjakan terjal ini.
Tiba-tiba dengan mendadak angin berhenti berhembus. Tidak ada bunyi apapun, seakan-akan seluruh hewan malam mendadak bersembunyi. Suasana wingit semakin terasa. Dari atas tanjakan kulihat orang itu memberikan aba-aba padaku untuk diam tak bergerak.
Lalu sayup-sayup terdengar gending-gending gamelan Jawa. Suaranya terdengar mistis. Awalnya terdengar jauh dan pelan, lama kelamaan suara itu seakan bergerak mendekat dan semakin mendekat diiringi wangi bunga kantil yang semakin pekat.
Yang terjadi selanjutnya adalah...
Bagian 9
Membentang didepanku bukan lagi tanjakan terjal melainkan tangga batu. Kabut tipis melayang dipuncak anak tangga. Sumber cahaya hanya berasal dari api obor di kanan kiriku. Gending gamelan tadi terdengar jelas sekarang, sumbernya ada diujung tangga ini. Tapi aku tak bisa melihat apapun, selain tangga batu ini, sekitarku hanyalah kabut kelabu.
Aku panik saat menyadari aku berdiri disini seorang diri. Orang itu tidak ada dimanapun. Tubuhku langsung bersimbah keringat dingin. Aku terjatuh diatas lututku, kakiku yang gemetar terlalu lemah untuk berdiri. Dan bau bunga kantil itu datang lagi. Dengan kedua tangan aku menyeret tubuhku kesamping, kakiku sudah benar-benar lemas. Tujuanku secepatnya bersembunyi dibalik tirai kabut sebelum pemilik wangi bunga kantil itu muncul.
Ternyata tertutup dalam kabut adalah hutan. Tubuhku beringsut dibalik pohon terdekat. Nafasku kembang kempis tak beraturan. Wangi bunga kantil itu semakin pekat. Bulu kudukku meremang saat kuberanikan diri mengintip ke arah tangga batu itu. Sesuatu melayang dari tangga terbawah , berhenti sebentar di titik dimana tadi aku berdiri, lalu melayang keatas anak tangga dan hilang dibalik kabut.
Itu adalah sosok nenek tua. auranya sedemikian mengerikan, hingga aku langsung menggigil hebat. Dia mengenakan pakaian serba hitam. Dan rambutnya luar biasa panjang. Bahkan saat tubuhnya hilang dibalik kabut, rambutnya masih terlihat bergerak selama beberapa saat. Aku benar-benar cemas dan luar biasa panik. Tidak tahu harus bagaimana dan kemana. Aku menyadari kebodohanku sekarang.
Aku terlalu bergantung pada orang itu. Padahal sejak di Cibunar aku sudah bertekad akan melakukan ini sendiri. Sekarang aku disini, sendiri. Tangga batu, obor, kabut kelabu, sepenuh hati aku sadar, aku tersesat di alam lain. Aku terus menerus mengingatkan diri sendiri, aku harus tenang, aku harus pulang, aku tidak boleh mati disini.
Ketenanganku cuma berhasil beberapa detik. Saat kabut sedikit menipis kulihat sesuatu yang nyaris membuatku histeris jika saja tidak ada tangan yang membekap mulutku. Orang itu sudah ada disampingku, tangannya masih membekap mulutku. Dia memberi aba-aba untuk tenang.
Baru kusadari, didepanku tergeletak banyak tubuh pendaki gunung. Satu tubuh malah tepat ada disampingku. Yang lain terserak tak beraturan. Mereka semua tertidur. Hanya saja kulitnya sepucat mayat Orang itu menyuruhku berdiri dengan tenang. Aku diperintahkan mengikutinya. Dia berjalan menjauhi tangga batu, masuk menembus kegelapan hutan. Aku berjingkat-jingkat berusaha tidak mengeluarkan suara apapun.
Seekor gagak diatasku. Melompat dari dahan ke dahan seakan mengikuti. "Abang dari mana tadi? I... Itu siapa bang? Me.. Mereka tadi?" Suaraku gemetar bertanya. Tidak seperti biasanya, dia menjawab dengan berbisik, "ini bukan tempat lu lagi boy, jangan sampai ada yang tau kita disini." Aku mengangguk pelan. Tapi masih tetap menunggu penjelasan. "Itu pendaki yang.... Udahlah, ngga perlu tau. Pokoknya jangan sampe mereka bangun." Bisiknya lagi.
Kami berjalan semakin jauh masuk kedalam hutan. Aku tercengang melihat agak jauh di samping kananku, menjulang diantara hutan dan kabut sebuah bangunan besar. Ditengah malam seperti ini, bangunan besar dengan menara-menaranya yang tinggi tanpa penerangan sama sekali terlihat bagai raksasa. Rupanya dari sanalah sumber suara gending-gending itu.
Aku membuang muka, tidak ingin membayangkan mahkluk-mahkluk apa yang ada didalam sana dan kembali fokus melihat punggung orang itu yang berjalan didepanku. Suasana sekitar hening mencekam. Tidak ada satu pun bunyi suara binatang hutan. Kabut tipis melayang rendah diantara pohon-pohon cantigi.
Lalu mendadak kita sampai ditepi hutan. Orang itu berhenti. Dia memberiku aba-aba untuk mundur beberapa langkah dan bersembunyi dibalik semak. Didepan kami menghampar tanah lapang yang luas. Aku tak tahu seberapa luasnya karena tertutup kegelapan dan tirai kabut.
"Boy, kita udah sampe. Mulai dari sini lu jalan sendiri. Inget untuk apa lu jauh-jauh ke sini kan?" Orang itu membuka pembicaraan.
"Iya bang. Ngambil pembalut yang dibuang Ayu." Kataku.
"Jalan lurus aja. Jangan bikin keributan. Jangan narik perhatian. Jangan sampe Nyi Linggi tau keberadaan lu."
Aku mengangguk mengerti, "tapi bukannya Nyi Linggi baik bang, kan dia yang nolong waktu ada Kalong Wewe.. " Tanyaku.
"Gua jelasin ya. Nyi Linggi yang kasih syarat untuk ambil lagi sampah sialan tadi. Dia yang bikin lu sampe naik kesini boy." Jawab orang itu, "ada maksudnya kenapa dia nolong lu tadi. Dia mau lu sampe istananya tanpa luka apa-apa."
"Gimana maksudnya bang." Tanyaku masih tidak mengerti.
"Syarat itu cuma akal-akalan aja boy. Nyi Linggi itu mau ngunduh mantu. Ngerti ga lu? Dia itu mau ngawinin?"bisiknya.
"Siapa yang mau dikawinin bang?" Aku masih tidak paham arah pembicaraanya.
"Elu boy."
Bagai tersambar petir aku mendengar jawabannya. Jadi aku dengan lugu masuk perangkap. Tubuhku sontak menggigil. Orang itu mengeluarkan rokok dari kantongnya, menjepit dimulut lalu membakarnya. Asap tipis mengepul dari bibirnya. Aku terpana, dalam keadaan begini bisa-bisanya dia merokok dengan tenang. Lalu kesadaran menghantamku. Aku beranikan diri bertanya padanya.
"Jadi abang nganter saya kesini biar saya bisa dikorbanin bang?" Tanyaku. Dia dengan kurang ajar menghembuskan asap rokoknya ke wajahku. "Gua ada disini untuk mastiin lu naik dengan selamat untuk ngambil sampah sialan itu biar temen lu bisa ketolong. Dan mastiin lu turun dengan selamat.''jawabnya dengan tenang, " Cuma lu yang bisa nolong temen lu. Dan cuma gua yang bisa nolong lu."
"I.. Iya, maaf bang." Aku menyesali keraguanku.
"Sekarang lu jalan. Lurus aja kedepan. Kalo udah ketemu, sampahnya lu bungkus kain putih yang lu bawa. Langsung balik kesini." Perintahnya.
Aku mengangguk mengerti. Lalu dengan mengendap-endap aku melangkah maju menuju tanah lapang ini. Kabut bagaikan punya nyawa sendiri, bergerak-gerak pelan tanpa ada angin. Semakin jauh ku melangkah kabut kelabu ini semakin tebal. Sementara dikejauhan tampak siluet hutan dan bayangan gelap bangunan istana Nyi Linggi.
Aku terkesiap saat mataku melihat sesuatu dibalik kabut didepanku. Dalam diam aku berhenti lalu berjongkok sambil mataku tetap memandang siluet didalam kabut itu. Pelan aku menyeret kakiku bergerak mendekat. Keringat menetes didahiku. Semakin dekat, bayangan itu mulai terlihat semakin jelas. Nampak seperti gundukan sesuatu.
Saat akhirnya kabut tersibak, aku terkejut mendapati apa yang kulihat. Itu adalah kuburan baru. Nampak dari tanahnya yang masih merah dan gembur. Diatasnya tergeletak begitu saja tampaknya adalah pembalut yang kemarin dibuang Ayu. Dari pembalut itu merembes darah segar berbau anyir. Lelehan darah itu mengalir kebawah hingga akhirnya membuat genangan darah dibatas kabut.
Tubuhku mengejang membaca nama yang tertulis di nisan kuburan itu. Nama Ayu tertulis jelas disana, lengkap dengan tanggal lahirnya. Bulu kuduk ku berdiri melihat tanggal kematiannya adalah tanggal hari ini. Dengan tangan gemetar kukeluarkan kain putih dari kantong celanaku. Kuangkat pembalut yang masih terus meneteskan darah itu dan segera kubungkus dengan kain tadi.
Seiring kabut yang semakin menipis, sudut mataku menyadari ada sesuatu yang bergerak-gerak. Aku berteriak histeris dan jatuh terduduk saat kabut menyibakkan tirainya. Nampak sesosok makhluk yang sedang menjilati darah ditempat genangan tadi. Wajahnya penuh darah. Lidahnya panjang terjulur. Tangan dan kakinya menekuk seperti kucing. Rambut panjangnya lepek dan matanya menatap lurus kearahku.
Dengan kaki gemetar aku beringsut mundur dengan perlahan. Sebisa mungkin tidak membuat gerakan mendadak. Mata makhluk itu terus saja menatapku yang dengan pelan bergerak mundur. Tapi dia tetap disana. Lidahnya sudah berhenti menjilat darah. Tapi dia tetap disana. Lalu kurasakan sesuatu yang lembut tersentuh punggungku. Aku langsung berhenti dan dengan tegang menengok ke belakang. Tubuhku membeku. Berdiri tepat dibelakangku dengan rambut terurai panjang hingga ketanah.
.... Nyi Linggi....
Bagian 10
Tubuhku menggigil tak terkendali. Tidak sedikitpun aku mampu bergeser. Makhluk itu terus menatapku, wajahnya yang penuh darah nampak berkilat saat tertimpa cahaya bulan. Dibelakangku, jubah hitam Nyi Linggi nampak bergoyang tertiup angin. Dari sudut mataku, kulihat tangannya bergerak hendak meraihku.
Tak mampu bergerak, mataku membelalak dengan ngeri saat jari-jari pucatnya menyentuh pundakku. Dengan kalut aku mencoba mengingat doa apa saja, tapi pikiranku yang panik tak mampu mengingat satu doa pun. Aku mampu menguasai lagi tubuhku saat kudengar bunyi kepakan sayap lewat ditelingaku. Seekor gagak hitam terbang diantara aku dan Nyi Linggi lalu hinggap diatas nisan kuburan Ayu.
Kepala burung itu bergerak-gerak. Matanya yang hitam seakan melihat padaku. Lalu tiba-tiba dia berkaok dengan kencang dan terbang kearahku. Aku berteriak ketakutan sambil menutupi wajah dengan tangan mencoba menghindari cakaran burung hitam itu. Tapi dia lewat begitu saja, dan disaat yang bersamaan terlepas juga kuku Nyi Linggi yang menancap dipundakku.
Sadar, aku segera beringsut ke samping dengan cepat menghindari gapaian tangan Nyi Linggi, lalu dengan kaki gemetar aku berbalik arah dan berlari secepat yang aku mampu. Aku berlari tak tentu arah. Kabut kelabu menghalangi pandanganku. Yang kupikirkan hanyalah bergerak terus sejauh mungkin. Membayangkan tangan pucat Nyi Linggi menggapai punggungku membuat seluruh tubuhku gemetar.
Sebuah siluet hitam muncul mendadak didepanku, tak mampu menghindari, aku terjatuh berguling-guling ditanah. Aku langsung bangkit, waspada. Mataku nyalang melihat sekeliling berusaha mencari sosok Nyi Linggi dan Mahkluk darah tadi. Mereka tidak terlihat di mana-mana, sekelilingku hanya kabut tebal. Tidak juga terdengar suara apapun.
Didepanku nampak gundukan tanah. Sebuah kuburan lagi. Aku terjatuh karena menghindari kuburan ini yang tiba-tiba muncul ditengah kabut. Sedetik bulu kudukku meremang, takut jika ternyata aku cuma berputar-putar ditempat. Tapi sekilas pandang aku langsung lega, ini bukan kuburan baru. Ini kuburan yang berbeda.
Nisannya dari batu yang sudah dipenuhi lumut. Dengan pelan aku bergeser mendekat. Aku bersembunyi dibalik batu nisan. Dari baliknya, dengan ketakutan aku mencari-cari sosok yang mendekat, tapi yang nampak hanya kabut. Kesempatan ini kugunakan untuk mengatur nafas dan menenangkan riuh detak jantungku. Dengan pelan kusentuh kantong celanaku, khawatir jika pembalut itu jatuh, tapi benda itu masih disana.
Kepakan sayap terdengar lagi, dan tiba-tiba dari balik kabut Gagak hitam itu muncul dan langsung mendarat dibatu nisan diatas kepalaku. Aku kaget setengah mati, menghindar berguling menjauh. Gagak itu diam disana seakan tak peduli. Dia mengembangkan sayap hitamnya dan mulai mematuk-matuki sayap itu. Aku masih mengawasinya waspada. Berbagai kejadian malam ini mengajarkanku, apa pun bisa terjadi.
Leherku kaku, tapi aku tak ingin mengalihkan pandangan dari burung ini. Aku meyakinkan diri agar siap jika burung itu berubah menjadi Kuntilanak atau setan apapun. Tapi burung itu sama sekali tidak mempedulikanku. Dia mengepakkan sayapnya lalu turun ke atas pusara kuburan itu. Paruhnya mematuki lumut yang tumbuh subur menutupi nisan.
Sesuatu melintas dipikiranku. Pelan kudekati batu nisan berlumut itu. Dengan tangan gemetar kucabut perlahan lumut-lumut yang nampaknya sudah tumbuh di batu nisan ini bertahun-tahun tanpa pernah dibersihkan. Ketika kutarik, akar-akar serabutnya juga menarik lepas serpihan semen. Batu nisan ini sudah sedemikian rapuhnya.
Cahaya bulan terlalu lemah untuk membantuku melihat apa yang terpahat di nisan ini, jadi aku menempelkan jariku, berusaha membacanya dengan tangan. Huruf pertama yang terbaca adalah huruf M, berikutnya tanpa susah payah aku mengenali huruf O. Aku kesulitan mengenali huruf berikutnya, pahatannya sudah aus, guratan hurufnya agak samar, apakah huruf..... K
Sebuah tangan tiba-tiba muncul dari belakang dan menarik tanganku. Aku langsung histeris. Kaki dan sebelah tanganku yang bebas dengan panik memukul dan menendang-nendang berusaha melepaskan diri dari cengkraman mahkluk apapun itu. Lalu sebuah suara yang kukenal dan terdengar agak kesal, "Hormatin orang yang udah mati boy." Aku membuka mataku. Orang itu berdiri tegak dibelakangku "ayo gerak. Waktu lu ngga lama lagi." Kata orang itu lagi sambil berjalan menjauh.
Aku terseok-seok mengikuti langkahnya yang tampak terburu-buru. Kabut tebal kelabu masih mengelilingi kami, tapi orang itu nampaknya mengerti arah langkahnya. Sebentar-sebentar aku menoleh ke belakang. Firasatku mengatakan ada sesuatu yang mengikuti, tapi tiap kali kutoleh yang ada hanya kekosongan.
Kabut semakin menipis, tapi perasaan mencekam malah kian terasa. Intensitasku menoleh ke belakang semakin sering. Tiap kali aku melonjak kaget, merasakan tangan dingin menyentuh tengkukku. Aku tak mampu lagi membedakan yang mana halusinasi atau kenyataan. Apakah hanya perasaanku atau memang benar sebuah tangan.
Menipisnya kabut sama sekali tidak membantu. Bayangan-bayangan gelap pohon cantigi yang kurus dan bercabang dimataku bagaikan sosok hantu yang berdiri diam. Berkali-kali aku terjatuh, tapi orang itu menengok pun tidak. Dia masih terus berjalan. Hanya sesekali dia melirik jam ditangannya atau menyalakan rokoknya. Semua dilakukan sambil berjalan.
Sosok-sosok Kuntilanak muncul sesekali dari balik pohon. Kali ini aku sudah tak peduli. Tak ku pedulikan juga sosok yang terbang dari dahan ke dahan. Nyaliku kembali teruji ketika terdengar suara perempuan tua menyanyikan tembang Jawa. Suaranya terdengar pelan namun jelas. Orang itu mendadak berhenti dan mengeluarkan parangnya. Alih-alih terus jalan mengikuti jalur, orang itu malah menerobos semak disebelah kiriku.
Parang tadi ia gunakan untuk membuka jalan. Kami menerobos ilalang setinggi pinggang. Di beberapa tempat ilalang itu bahkan melebihi tinggi tubuhku. Sebuah tangan menjulur dari balik semak, tapi dengan entengnya orang itu mengayunkan parangnya dengan cepat. Tangan itu putus dan berubah menjadi kabut. Seiring jalan, juluran tangan itu semakin banyak. Mereka tidak hanya muncul dari balik semak, tapi juga dari bawah tanah.
Orang itu kembali berhenti. Kali ini dia mengajakku berbalik arah menyusuri jalur semula. Aku gelisah melihat wajahnya tidak lagi setenang biasa. Parangnya kembali diayunkan ke kanan kiri. Tiba-tiba saja kami keluar di Pos Kuburan Kuda. Kemunculan mendadak kami rupanya mengalihkan perhatian hantu-hantu orang desa yang tampak sedang merubung ditenda pendaki. Puluhan pasang mata menatap kami tanpa berkedip. Tanpa ada komando tiba-tiba mereka bergerak pelan ke arah kami.
Aku histeris ketika hantu yang terdekat memeluk pahaku. Aku meronta-ronta hingga terjatuh. Tangan itu baru lepas ketika orang itu menarikku. Sementara suara perempuan tua yang menyanyikan tembang Jawa terdengar semakin mendekat. Orang itu berbisik pelan di telingaku, "lari boy." Lalu dia menambahkan, "Jangan sekali-kali nengok ke belakang."
Bersamaan dengan terciumnya anyir darah, orang itu berlari sambil menyeretku. Aku berlari zigzag menghindari tangan-tangan hantu orang desa yang berusaha menggapai kakiku. Lepas dari kepungan hantu orang desa, aku memohon orang itu berhenti untuk istirahat. Kedua kakiku hampir mati rasa. Tapi dia terus menarikku. Aku berlari dengan terpincang-pincang dan menahan nyeri di telapak kaki, hingga akhirnya aku rubuh karena pahaku keram. Rasanya seluruh tenagaku dikuras habis.
Didepanku, dibalik semak nampak pohon tua yang sangat besar. Kulit kayunya berwarna putih. Sulur-sulur panjang mirip rambut jatuh disana-sini dari dahan-dahan raksasanya. Yang pertama kulihat adalah pocong yang muncul dari balik pohon itu. Jantungku berdesir pelan. Tapi aku pasrah, menyadari aku tak bisa lari dengan kaki seperti ini.
Berikutnya adalah kuntilanak. Ada yang duduk sambil menggoyangkan kaki, ada yang menggantung dengan kepala dibawah. Ada dua atau tiga kuntilanak yang berwarna merah darah, yang lainnya berwarna putih. Itu adalah pemandangan paling tak biasa yang kutemui dalam pendakian, pohon itu bagaikan berbuah Kuntilanak. Dan sulur-sulur seperti rambut. Aku salah. Nyatanya itu memang rambut.....
Bagian 11
Mataku mengikuti arah pandang orang itu. Dipucuk pohon tua tadi, berdiri, adalah Nyi Linggi. Tidak ada angin yang berhembus. Tidak juga bunyi-bunyian hutan. Sekitarku seakan membeku. Aura kemarahan kurasakan sangat menekan. Seluruh persendianku kaku. Aku bahkan tak mampu menoleh sama sekali. Mataku terpaku tanpa mampu berkedip melihat Nyi Linggi melayang turun.
Orang itu masih berdiri ditempatnya, tapi kini dia agak mundur dan bergeser menghalangi pandanganku pada Nyi Linggi. Aura mistis kurasakan semakin menjadi-jadi. Tubuhku menggigil hebat. Bukan hanya aku, tangan orang itu pun kulihat mulai gemetar. Aku langsung diserang panik. Bagaimana kalau orang itu memilih kabur dan meninggalkanku dengan kaki yang tak mampu digerakkan?
Aku merinding. Untuk pasrah pun aku tak mampu. Aku tidak ingin mati ditempat ini. Kabut tipis terlihat bergerak turun dari tanjakan terjal disebelah kananku, sementara dikiriku entah jalur turun atau jurang, aku tak mampu lagi mengingat aku ada dimana. Arah itu bagai terputus begitu saja ditelan kegelapan rimbunan pohon dan ranting yang saling menyilang.
Sesuatu tergantung terbalik di dahan ranting itu. Kepala dan tangannya terkulai kebawah, wajahnya tertutup rambut, tapi aku merasa matanya menatap lekat ke arahku. Aku bahkan sudah tak mampu lagi untuk bereaksi. Saat bau pandan tercium semakin kuat, aku sudah nyaris tidak peduli. Mungkin memang hidupku sudah tidak lama lagi.
Tapi mengingat Ayu, aku merasa bersalah karena hampir menyerah. Andai waktu itu aku tak mengajaknya mendaki Ciremai.. Dadaku kembali hangat. Ada setitik semangat yang muncul. Aku sudah sejauh ini. Aku mesti berhasil. Kami berdua harus kembali ke Jakarta, kembali kekehidupan normal kami yang biasa.
Seiring ketenangan yang muncul, kakiku kembali mampu bergerak walau lemah. Perlahan kucoba berdiri. Rupanya itu hanya ketenangan palsu. Kembali aku terjatuh, kakiku terlalu lemah untuk berdiri. Dengan tangannya yang gemetar, orang itu memberikanku aba-aba untuk diam. Dengan wajah pucatnya, Nyi Linggi berdiri disana, hanya terpisahkan oleh jalur.
Diam mematung. Diatasnya, didahan-dahan pohon kuntilanak-kuntilanak bergerak-gerak dengan ganjil. Ditengah ketegangan yang memuncak, telingaku mendengar sesuatu. Suaranya berasal dari arah jalur bawah. Mataku membelalak ketika sesuatu itu akhirnya muncul. Itu adalah suara rombongan beberapa pendaki yang naik malam.
Orang yang terdepan nampak membawa carrier ukuran besar, membuat jalannya membungkuk. Dibelakangnya mengekor dua orang lain, jalannya terseok dan tampak kepayahan. Aku tegang menyaksikan mereka melintas pelan diantara orang itu dan Nyi Linggi. Tapi seperti pendaki sebelumnya, mereka pun nampaknya tak melihat kami. Semua mata menatap para pendaki itu. Bola mata Nyi Linggi bergerak mengikuti langkah pendaki terakhir yang tiba-tiba berhenti.
Jantungku mencelos mendengar pendaki itu berteriak memanggil dua temannya, "oii setan, istirahat dulu sebentar. Cape banget gua ini, anjing!" Dengan takut-takut kuberanikan diri melihat Nyi Linggi. Aku ngeri membayangkan reaksinya mendengar ocehan tidak sopan barusan.
Dengan pelan dan terpatah-patah kulihat wajah Nyi Linggi menoleh ke pendaki itu. Matanya merah dan jelas nampak marah. Aku komat-kamit berdoa supaya pendaki itu segera pergi. Tapi dia masih diam disana, tangannya bertumpu pada trekking pole. Dia kelihatannya sedang mengatur nafasnya yang kembang kempis.
Dua temannya berdiri menunggu tidak jauh diatasnya. Salah seorang berteriak, "tanggung sedikit lagi. Nanti ngecamp di Tanjakan Seruni aja." Seorang yang lain menambahkan, "udah gw bilang, lebih enak lewat Palutungan kalo naik. Turunnya baru lewat Linggarjati. Lu ngeyel kalo dibilangin."
Pendaki terakhir itu tertawa-tawa kurangajar sambil berkata, "sama ajalah lewat mana aja. Ini emang gunung ngga bener! Semua jalurnya nyusahin! Gunung brengsek!!" Dalam sekejap suasana berubah. Udara seakan sedingin es.Tangan pucat Nyi Linggi bergerak, tampak mengancam dengan kuku-kukunya yang runcing dan hitam. Sesosok bayangan hitam bergerak cepat dan menabrak pendaki itu yang sama sekali tidak menyadari situasi.
Aku menunggu dengan tegang yang akan terjadi. Tapi sosok hitam yang masuk ketubuhnya rupanya tidak langsung menampakkan efeknya, dia masih tertawa-tawa dengan kurangajar. Dengan jari-jarinya yang panjang, tangan Nyi Linggi terulur sambil dia melangkah ke arah pendaki itu. Aku yang tak mampu bersuara hanya bisa menutup mulutku dengan tangan. Mataku membelalak lebar.
Orang itu yang sejak tadi berdiri didepanku juga bergerak. Kulihat dadanya naik turun dengan cepat, lalu tiba-tiba dia menggeram keras disusul suara auman harimau. Aku berteriak histeris sambil menutup telinga. Suaranya menggelegar bergaung-gaung menembus hutan. Beberapa sosok Kuntilanak terlihat langsung menghilang. Ketiga pendaki itu jelas ikut mendengar auman itu kali ini. Ketiganya dengan panik berlari tunggang-langgang.
Langkah Nyi Linggi terhenti mendengar auman barusan. Tanpa membalikkan tubuhnya, wajahnya berputar menghadap orang itu. Matanya mendelik menakutkan. Sekarang dia bergerak ke arah kami. Orang itu tiba-tiba menjatuhkan diri. Badannya sekarang merangkak, jari tangannya menancap ketanah. Kembali terdengar geraman-geraman kecil dari mulutnya.
Aku yang ketakutan semakin merapatkan diri ke pohon dibelakangku. Tanganku gemetaran hebat sambil menutup telinga. Sementara didepanku, orang itu dan Nyi Linggi saling menatap. Bola mata Nyi Linggi bergerak berpindah-pindah dengan cepat pada orang itu dan aku. Lalu tanpa membuka mulutnya dia mengeluarkan suara yang kering dan dingin...
"Kumakan kalian semua......''
Bagian 12
Aku hampir pingsan ketika mendadak sesuatu melintas disampingku. Dari sebelah kiriku berjalan dengan tertatih sosok bungkuk seorang perempuan tua. Aku hampir tak mempercayai mataku, itu adalah ibu tua dari Cibunar. Apakah dia naik sejauh ini untuk menyusulku?
Ibu tua itu melangkah pelan sekali dengan kaki diseret. Kedua tangannya memegangi tongkat kayu untuk membantu jalan. Dia lewat begitu saja tanpa menoleh kearahku. Dengan lembut dia menyentuh pundak orang itu yang masih menggeram dan tampak memintanya untuk tenang. Orang itu yang sekejap lalu seakan berubah liar perlahan kembali seperti sediakala. Geramannya tak terdengar lagi. Pelan dia mundur ke arahku.
Dari sebelah kananku, berjalan melewati ku, seorang kakek berbaju serba putih. Dikepalanya terlilit sorban yang juga berwarna putih. Kakek ini juga menyentuh pundak orang itu dengan lembut. Kali ini orang itu bahkan langsung mencium tangan kakek itu dengan khidmat. Nyi Linggi tampak melayang sejengkal dari tanah. Wajahnya yang pucat tampak semakin pucat. Bola matanya bergerak-gerak liar. Sebuah suara terdengar marah.
".... Kalian..... "
Ibu tua itu menatap Nyi Linggi, lalu dengan tenang memperhatikan sekeliling. Kakek putih itu sekarang berdiri di samping si ibu tua. Jubah putihnya tampak bergerak-gerak pelan tertiup angin yang tiba-tiba berhembus pelan. "Linggi." Ucap si Kakek putih lembut, "ada apa ini Linggi... "
Tanpa membuka mulutnya Nyi Linggi berteriak marah, "jangan ikut campur! Bukan urusan kalian!" Matanya melotot, tapi dia bergerak mundur dengan perlahan, "Anak-anak ini harus mati! " Aku menggigil mendengarnya. Ancaman itu ditujukan untuk aku dan Ayu. Tatapannya menancap dingin kearahku.
"Linggi, barang siapa membunuh seorang manusia itu sama dengan membunuh seluruh manusia... " Kakek putih itu berkata dengan lembut sambil memutar-mutar tasbih ditangannya.
Sekali lagi suara dingin Nyi Linggi menggelegar, "Barang siapa membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya."
Nyi Linggi tertawa-tawa mengerikan dan disusul sebuah bisikan, "Al-maidah, ayat tiga puluh duaaa... " Perlahan jarinya yang putih pucat terangkat dan menunjuk tepat kearahku, "anak ini telah berbuat kerusakan." Bisiknya pelan, namun suaranya terdengar jelas, "mati jadi keharusan."
Aku semakin menggigil ketakutan. Sementara Nyi Linggi tertawa-tawa semakin kencang dan terus menerus meneriakkan satu kata: mati..... Mati..... Mati..... Kedua orang tua itu kudengar mengulang-ulang istighfar sambil tak henti memutar tasbih.
"Manusia tempatnya salah Linggi. Memaafkan akan membuatmu lebih mulia. Maafkanlah kekhilafannya Linggi." Kakek itu berucap pelan. "Jangan ikut campur!" Bentak Nyi Linggi lagi. Tangannya tiba-tiba menunjuk ke arah kegelapan tempat Kalong wewe menggantung sejak tadi.
Mataku membelalak lebar, tiba-tiba saja wajah Kalong wewe tadi sudah ada didepanku. Tangan kanannya dengan cepat mencekik leher orang itu sementara lidahnya menjilat wajahku. Aku menjerit ngeri melihat belatung begerak-gerak didalam mulutnya.
Secepat kemunculannya, secepat itu juga hilangnya. Sabetan tasbih ibu tua hanya memukul ruang kosong. Kalong wewe itu sudah hilang diiringi suara cekikikan yang membahana dalam kegelapan. Orang itu terbatuk-batuk hebat sambil memegangi lehernya yang sekarang tampak menghitam. Sementara tubuhku gemetar tak terkendali.
Nyi Linggi melayang mendekat, lalu hilang. Sosoknya muncul dibalik pohon tua itu. Sebentar kemudian hilang. Sosoknya muncul lagi diatas dahan. Hilang. Tapi dia tak pernah muncul terlalu dekat untuk mampu menjamahku. Aku dengan panik mencari-cari setiap dia hilang dan menatap dengan was-was setiap dia muncul. Tapi dimanapun dia muncul, matanya selalu terpaku menatapku tanpa ekspresi.
Suara-suara berbisik dari segala arah menghujani telingaku dengan kata-kata: Mati.. Mati.. Mati. Mati.... Semakin erat kututup telingaku, suara-suara itu justru semakin jelas. Aku yang kalut berteriak-teriak histeris berusaha mengenyahkan suara-suara itu dari kepalaku. Orang itu dengan kasar menarik tanganku yang membekap erat telingaku sambil membentak, "Istighfar! Inget Tuhan! Lu orang Islam bukan?!!"
Mataku membelalak menatap orang itu. Mulutku dengan reflek mengulang-ulang istighfar. Tapi suara-suara di kepalaku justru semakin keras. Aku memukul-mukul kepalaku dengan panik berharap suara itu segera lenyap. Orang itu kembali membentakku, "istighfar!"
Suaraku bergetar lirih, "Astaghfirullah.. Astaghfirullah.. "
"Lebih keras!!"
"Astaghfirullah!! Astaghfirullah!!"
Orang itu menampar pipiku dengan kencang sambil berteriak, "LEBIH KERAS!!!"
"ASTAGHFIRULLAHALADZIM!!!! LAHAULA WALA QUWWATA ILLA BILLAHIL ALIYYIL ADZIM!!!! " Aku menjerit sejadi-jadinya sambil menangis. Dadaku turun naik, nafasku tak beraturan.
Orang itu dengan lembut menyentuh bahuku. Dia tersenyum. "Tiada daya dan upaya kecuali dengan kekuatan Allah yang maha tinggi lagi maha agung." Airmataku mengalir deras tak mampu kubendung. Bibirku bergetar pelan. Dalam isakku, istighfar terucap secara reflek. Seluruh tubuhku gemetar dengan hebat. Tapi suara-suara itu sudah hilang. Orang itu menampar pipiku dengan pelan. Senyumnya tersungging menghina, "Dasar bocah... "
Kakek putih itu maju selangkah mendekati Nyi Linggi yang kini melayang beberapa meter didepannya "Lepaskan anak ini. Pergilah Linggi, " Suara lembut kakek itu pelan tapi terdengar wibawa. Tangannya tak henti-hentinya memutar tasbih. Nyi Linggi memiringkan kepalanya memandangi kakek itu dengan tajam, seakan tak mendengar. Dia tersenyum dan terus menerus berkata datar: Mati.. Matii.. Mati...
Aku kembali meremas telingaku ketika tiba-tiba terdengar suara lengkingan yang memekakkan. Sosok menjijikkan Kalong wewe berdiri tak bergerak tepat didepan ibu tua. Tangannya yang penuh borok dan berkuku tajam tergantung diudara. Didepannya dengan mata terpejam, ibu tua tampak berkomat-kamit tanpa suara. Semakin cepat ibu tua itu memutar tasbihnya, makhluk itu menjerit semakin keras.
Ketika akhirnya ibu tua itu membuka mata, diiringi jeritan kesakitan makhluk itu terbakar habis menjadi abu. Nyi Linggi melihat kejadian itu dengan diam. Kemarahan nampak dari tangannya yang bergetar. Aura murkanya meledak dalam keheningan. Perlahan bibirnya yang selama itu tertutup kini pelan-pelan terbuka. Sebuah kalimat yang dia katakan berikutnya langsung membuat kakek putih itu waspada.
"....Nyawa bayar nyawa..."
Bagian 13
Kakek putih itu tampak mengatakan sesuatu kepada ibu tua. Dengan khidmat ibu tua itu mendengarkan, disusul dengan anggukan. Perlahan dia menoleh pada orang itu yang sedang memegangi lehernya yang menghitam. Tanpa mengatakan apapun dia hanya mengangguk, tapi nampaknya orang itu pun mengerti. Dia memapahku untuk berdiri. Rupanya kami diminta untuk segera turun dan meninggalkan Kakek putih itu dengan Nyi Linggi.
Sebelum pergi kulihat Ibu tua itu mencium tangan si Kakek. Dengan lembut kakek putih itu menepuk pundaknya. Disusul orang itu yang tidak hanya mencium tangan, tapi juga bersimpuh andai saja tidak ditahan oleh si Kakek. Dan seperti juga kepada Ibu tua, Kakek ini pun menepuk pundak orang itu. Tinggal aku yang tidak tahu harus berbuat apa. Akhirnya aku pun mengikuti keduanya, mencium tangan Kakek Putih itu.
Tangannya begitu lembut dan harum. Dengan hanya menciumnya membuatku merasa aman. Sambil membelai rambutku, kudengar dia berbicara pelan, "kamu pulang. Jadikan ini sebagai pelajaran. Jaga tingkah laku dan tutur kata dimanapun kamu berada." Aku mengangguk pelan. Mendengar kata pulang, tanpa sadar air mataku mengalir. Dia menepuk-nepuk pundakku dan mempersilahkanku untuk pergi.
Terlalu segan untuk menatap wajahnya, dengan menunduk aku menjauh dan mengucapkan salam. Dengan tertatih aku mengikuti orang itu dan si Ibu tua menuju jalur turun, meninggalkan Kakek dengan Nyi Linggi. Tidak ada satu pun yang berbicara diantara kami. Dalam gelapnya jalur Ciremai kami melangkah dengan diam.
Aku meraba kantong celanaku, benda pembawa petaka itu masih disana, terbungkus kain putih. Kenapa harus kain putih? Aku bertanya dalam hati. Apa pembalut kotor itu jadi semacam benda gaib atau sejenisnya? Karena yang sekilas kutahu, benda-benda mistis seperti keris, tombak dan sejenisnya biasanya dibungkus dengan kain putih juga.
Tapi apapun itu nanti, yang jelas aku gembira bisa berhasil membawanya turun. Benda ini kunci kesembuhan Ayu. Dari belakang, aku mengamati punggung bongkok ibu tua itu. Ibu ini merawat Ayu, juga naik untuk menjemputku disaat yang benar-benar kritis. Ternyata dunia belum kekurangan orang baik. Lalu orang itu. Langkahnya yang biasanya lincah, sekarang berjalan pelan mengikuti langkah ibu tua. Tanpa dia, aku jelas tidak mungkin selamat melewati malam ini.
Diluar senyumnya yang menyebalkan dan kata-katanya yang ketus, dia orang baik. Penampilannya yang kumal khas pendaki gunung menyembunyikan ketaatannya beragama. Berkali-kali, malam ini dia selalu mengingatkanku berdoa, beristighfar dan mengingat Allah. Setelah ini selesai, aku janji akan membalas kebaikannya.
Tapi lalu aku menyadari sesuatu yang janggal. Aku naik lagi untuk mengambil kotoran sial itu sebagai syarat kesembuhan Ayu. Kenapa makhluk-mahkluk itu malah menghalangiku? Bukankah seharusnya mereka justru senang. Kenapa mereka malah menerorku sepanjang perjalanan? Bukan hanya teror biasa, mereka berniat mencelakakanku.
Seribu pertanyaan tiba-tiba menyeruak dikepalaku. Malam ini benar-benar tidak akan pernah kulupakan sepanjang hidupku. Orang itu melirikku, senyumnya tampak jahil. "Kapok ya naik Ciremai boy?" Aku cuma bisa tersenyum ditanya begitu. Kapok? Jelas banget. Bukan cuma Ciremai, sepertinya setelah ini aku pensiun naik gunung "Jangan lemah boy. Kejadian ini ambil pelajarannya." Katanya lagi. Orang itu seakan bisa membaca pikiranku.
Aku mengangguk mengiyakan. "Bang, terimakasih banyak udah nolongin saya bang." Kataku kali ini, "kalo ngga ada abang, ngga tau gimana nasib saya." Orang itu tertawa-tawa menyebalkan, tapi aku malah gembira melihat tawanya.
"Lu selamat bukan cuma karena gua boy. Lu juga harus terima kasih ke banyak orang yang nolong lu. Ada Mak Ncep, orang-orang di Cibunar, orangtua lu yang ngga putus do'ain lu dirumah, Ayu, termasuk juga Nyi Linggi. Dan tingkatin ibadah lu sebagai wujud syukur sama yang Maha Besar" Jawab orang itu. Kemudian dia melanjutkan "Ada maksud dari setiap kejadian boy."
"Maksudnya bang?' tanyaku tak mengerti. "Jangan jadiin ini pelajaran pribadi lu. Ceritain ke temen lu, ceritain ke banyak orang, kalian manusia ngga hidup sendiri. Ada makhluk lain yang berbagi dunia dengan kalian. Berhentilah melakukan kerusakan di bumi."
"Iya bang," Balasku singkat. Kata-katanya barusan terasa meresap di hatiku. "Oiya bang, tadi Kakek itu siapa bang?" Tanyaku. Orang itu cuma tersenyum. Tampaknya keingintahuanku tidak akan terjawab dengan mudah. "Kalong wewe tadi gimana nasibnya bang?" Tanyaku lagi.
"Mati." Jawabnya singkat. "Bang tadi waktu kita pamitan sama Kakek kenapa Nyi Linggi diem aja, ngga nyerang atau ngapain gitu bang?" Lagi-lagi aku bertanya. "Bawel lu ya." Jawabnya ketus. Tapi dia tetap menjawab, "Mengambil kesempatan disaat orang lengah bukan perbuatan terpuji boy. Emang lu pikir siapa Nyi Linggi? Manusia?"
Aku mengamini jawabannya sekaligus merasa malu. Bahkan makhluk gaib pun punya tatakrama dan sopan santun. Jalur yang kami lalui mulai terbuka agak lebar dan cenderung datar. Kabut tipis melayang diantara semak dan pepohonan. Aku agak merasa aneh melihat kabut dan kegelapan tanpa kemunculan hantu apapun.
Apakah aku jadi terbiasa? Mungkin itulah mengapa orang itu terlihat biasa melihat penampakan segala setan di gunung ini. Tanpa terasa kami sudah sampai di Condong Amis, tempat pertama kali aku bertemu orang itu. Ibu tua itu berjalan kearah pondokan kosong. Mungkin dia ingin beristirahat sebentar. Kami mengikuti dibelakangnya.
Saat baru saja melepas lelah di pondokan ini tiba-tiba leher dan pipiku bekas cekikan Kalong wewe tadi kembali berdenyut-denyut. Aku mengusap pelan leherku, terasa perih. Tapi rasa sakit itu semakin tak tertahankan. Orang itu membaringkanku dilantai pondokan. Disampingku ibu tua itu memijit telapak tangan kananku sambil mulutnya berkomat-kamit. Kepalaku mendadak terasa sangat berat.
Kudengar orang itu berbicara padaku. Tak seperti biasanya, suaranya terdengar lembut "...Boy, sering-sering tengokin gua disini ya..." Kulihat orang itu melepas pin dari carriernya dan meletakkannya ditangan kiriku. Aku hanya bisa menggenggamnya tanpa bisa melihat. Pandanganku mulai kabur. Hal terakhir yang kuingat adalah gema adzan shubuh.
Berkas cahaya matahari tampak menembus jendela saat aku membuka mata. Aku terbangun diatas tempat tidur yang empuk. Disebelahku, dibalik tirai berwarna biru tampak kasur yang kosong. Selang infus tertancap di tubuhku yang terhubung dengan plastik berisi cairan yang menetes pelan ditiang disamping tempatku berbaring. Aku berada di rumah sakit.
Pintu terbuka, dan kulihat wajah Ayu lagi. Rasanya sudah bertahun-tahun. Dia mendekat dan langsung memelukku sambil menangis. Kudengar dia meminta maaf berkali-kali sambil terus menangis. Aku ingin balas memeluknya, tapi tanganku terlalu lemah untuk digerakkan.
"Lu udah nggak apa-apa yu?" Tanyaku. Dia mengangguk sambil mengusap airmata.
"Maafin gua ya di. Gara-gara gua lu jadi begini." Dia meminta maaf lagi.
Aku tersenyum sambil mengangguk. ''Yang penting kita selamat." Kataku, "siapa yang bawa gua kesini yu?"
"Ngga tau juga di. Gua juga bangun-bangun udah disini" Jawab Ayu.
Aku teringat lagi sosok Ibu tua. Diam-diam aku sungguh berterimakasih. Juga orang itu. Pasti dia yang susah payah membawaku turun dari Condong Amis sampai Cibunar, lalu kesini. Lalu aku teringat dia memberikanku sesuatu sebelum aku pingsan.
"Yu, liat pin yang gua pegang ga pas gw pingsan?" Tanyaku. "Oh ada. Bentar ya." Katanya. Dia lalu membuka tutup kepala carrier, mengambil benda yang kutanyakan, lalu memberikannya padaku. Aku menerimanya. Benar itu sebuah pin. Malam itu aku tak bisa melihat apa yang tercetak di pin ini saat pertama kali bertemu orang itu karena terlalu gelap.
Aku memperhatikan gambar yang tercetak disana. Tampaknya sebuah logo. Gambar cicak dan gunung, tulisan dibawahnya berwarna kuning sudah agak pudar tapi masih terbaca olehku: Edge Mountain. Entah apa artinya. Tapi pin ini akan kujaga selamanya sebagai pengingat untuk malam yang penuh teror di Ciremai.
Aku teringat sesuatu. Kuraba kantong celanaku. Kosong. Benda sial itu rupanya sudah hilang. Aku membayangkan ritual-ritual gaib dilakukan pada benda kotor itu untuk menyembuhkan Ayu. "Bekas pembalut lu yang didalam kain putih itu sekarang dimana yu?" Tanyaku karena tetap penasaran.
Ayu agak terkejut mendengar pertanyaanku. "Ohh.. Udah dibuang ditempat sampah."jawabnya. Sejujurnya aku sedikit kecewa mendengarnya. Tapi memang itu hal yang paling logis. Tempat buat kotoran memang hanya tempat sampah. Raut terkejut masih terbaca di wajah Ayu. Dia lalu bertanya, "Kok lu bisa tau tentang pembalut di kain putih di? Kan selama ini lu pingsan."
Aku tersenyum mendengar pertanyaannya. Teringat berapa horrornya perjalanan malam itu demi mengambil lagi benda sialan tadi. Ada rasa bangga dan sedikit merasa jadi pahlawan karena bagaimanapun aku berhasil menyelamatkan Ayu. Lalu pertanyaan Ayu yang buatku terdengar agak konyol dan lucu, kok gua bisa tau tentang pembalut di kain putih?
Ingin rasanya menepuk dada dan menceritakan semuanya. Wajah terkejut Ayu masih belum hilang, dan matanya tampak penasaran. Lalu sebuah senyum mengembang diwajahnya, dia lalu berkata, "padahal selama ini lu pingsan di. Tapi ya sudahlah, setelah malam itu kayaknya gua ngga bakal kaget kalo denger hal-hal aneh lagi."
Dan dia meneruskan, "nanti deh gua ceritain perjalanan gua ngambil pembalut itu malem-malem di Ciremai. Nanti gua ceritain tentang Nyi Linggi, Kalong wewe, abang Moka. Eh nanti kapan-kapan kita kesini lagi ya. Mak Ncep terus-terusan ngerawat dan ngejaga lu selama lu pingsan dan kesurupan. Kita banyak utang budi sama dia"
Sekarang giliran aku yang terkejut...
Posting Komentar untuk "Cerita Horor Gunung Ciremai, Gara-Gara Buang Pembalut Sembarangan!"